Xi Jinping Kritik Hegemoni Negara Besar Pasca Kesepakatan Dagang dengan AS

13 May 2025 19:58 WIB
perang-tarif-as-cina-mereda-cina-singgung-perundungan-negara-besar-1747127575304.jpeg

Kuatbaca - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China tampaknya memasuki babak baru yang lebih damai. Hanya sehari setelah kedua negara menyepakati penurunan tarif secara signifikan, Presiden China, Xi Jinping, menyampaikan kritik tajam terhadap tindakan yang ia sebut sebagai "perundungan" negara besar. Tindakan ini, yang diduga merujuk pada AS, mendapat sorotan keras dari Xi dalam pidatonya di Forum China-CELAC di Beijing, pada Selasa (13/5).

Dalam pidatonya, Xi menekankan bahwa dunia sedang berada di persimpangan sejarah yang penuh dengan tantangan besar. Dia menegaskan bahwa kerjasama antarnegara adalah kunci untuk menciptakan stabilitas global dan mencapainya tidak dapat dilakukan dengan politik konfrontatif atau hegemoni oleh negara besar. Pernyataan tersebut tampaknya ingin mengingatkan bahwa meskipun persaingan dalam perdagangan antara negara besar masih berlangsung, namun harus ada kesadaran akan pentingnya saling menghormati antarnegara.

Seruan untuk Kerjasama Global dalam Menghadapi Perubahan Dunia

Xi Jinping memperingatkan tentang ancaman besar yang dihadapi dunia saat ini, terutama dalam bidang perdagangan global. Dia mengingatkan para pemimpin yang hadir di forum tersebut bahwa tidak ada pihak yang akan diuntungkan dengan adanya perang dagang atau kebijakan tarif yang saling membebani. Menurut Xi, perundungan antarnegara besar hanya akan berujung pada isolasi dan kerugian bagi semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun pihak-pihak lain yang terpengaruh oleh dampak global.

Forum China-CELAC dihadiri oleh sejumlah pemimpin negara dari Amerika Latin, termasuk Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva dan Presiden Kolombia Gustavo Petro. Dalam kesempatan tersebut, Xi juga menawarkan dana sebesar $9,2 miliar untuk mendukung pembangunan infrastruktur di kawasan Amerika Latin. Ini adalah bagian dari upaya China untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan negara-negara di kawasan tersebut, serta mendukung pertumbuhan ekonomi global yang inklusif.

Dialog Setara dan Bebas dari Imperialisme

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Kolombia, Gustavo Petro, menyampaikan niat negaranya untuk bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI), sebuah inisiatif pembangunan infrastruktur yang dipelopori oleh China. Petro menekankan pentingnya dialog antarperadaban yang setara dan bebas dari dominasi kekuatan besar. Menurutnya, pendekatan horizontal dalam hubungan internasional lebih efektif dibandingkan dengan hubungan vertikal yang bisa terjebak dalam bentuk dominasi atau imperialisme.

Sementara itu, Presiden Brasil, Lula da Silva, menyatakan bahwa Brasil siap memperdalam hubungan ekonomi dengan China. Ini menandai perubahan besar dalam peta hubungan perdagangan global, di mana China kini telah menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai mitra dagang terbesar bagi Brasil, Peru, dan Chile. Kini, dua pertiga negara-negara di Amerika Latin sudah bergabung dengan Belt and Road Initiative, yang menunjukkan betapa China semakin mendominasi hubungan perdagangan di kawasan ini.

Kesepakatan Tarif dan Dampaknya terhadap Ekonomi Global

Sebelumnya, pada hari Senin, China dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif impor yang dikenakan kedua negara satu sama lain selama 90 hari. Dalam kesepakatan ini, tarif untuk barang-barang China akan diturunkan menjadi 30%, turun signifikan dari 145% yang sebelumnya diberlakukan. Di sisi lain, China juga akan mengurangi tarif impor menjadi 10% dari 125% yang berlaku sebelumnya. Kesepakatan ini memberi angin segar bagi pasar global yang sebelumnya terhantam ketegangan dari perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tersebut.

Dampak dari kesepakatan ini sudah terasa di pasar global. Saham di Asia melonjak, dengan indeks Nikkei Jepang tercatat naik 2% dan saham teknologi di Taiwan mengalami kenaikan serupa. Indeks MSCI Asia Pasifik pun mencatatkan level tertingginya dalam enam bulan terakhir. Bahkan, pasar saham di Amerika Serikat, termasuk S&P 500 dan Nasdaq, juga mencatatkan kenaikan signifikan setelah pengumuman tersebut.

Meski optimisme pasar meningkat, beberapa analis menilai bahwa perbaikan dalam hubungan perdagangan antara AS dan China ini lebih bersifat sementara. Meskipun kesepakatan ini membawa suasana yang lebih kooperatif dan diplomatis, tantangan struktural dalam kebijakan perdagangan masih tetap ada dan bisa membebani ekonomi global. Terutama terkait tarif yang masih diberlakukan, meskipun ada penurunan, tarif efektif AS saat ini masih tercatat sebesar 13,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka 2,3% yang tercapai pada akhir 2024.

Fitch Ratings memperingatkan bahwa tarif yang masih tinggi ini bisa menekan arus perdagangan global, meningkatkan biaya produksi, serta menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha dan investor. Hal ini bisa memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan menghambat pertumbuhan ekonomi global, terutama di sektor-sektor yang bergantung pada rantai pasok internasional.

Dengan kondisi saat ini yang lebih tenang, meskipun terdapat perbaikan hubungan bilateral, analis tetap mengingatkan untuk tetap waspada. Ketegangan baru bisa saja muncul jika kebijakan perdagangan antara kedua negara kembali berubah atau jika ketegangan geopolitik meningkat. Investor disarankan untuk tetap berhati-hati terhadap potensi volatilitas yang mungkin terjadi, karena meskipun suasana kini lebih damai, tantangan besar dalam hubungan AS-China masih tetap ada.

Pada akhirnya, meskipun langkah menuju pengurangan tarif ini memberi harapan bagi perekonomian global, fondasi hubungan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia ini tetap rapuh. Ke depannya, stabilitas dalam hubungan dagang dan kebijakan internasional sangat bergantung pada bagaimana kedua negara tersebut mengelola ketegangan dan menjaga dialog yang konstruktif.

internasional

Fenomena Terkini






Trending