Kuatbaca.com- Kekerasan yang terus berlanjut di Jalur Gaza kembali menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Pada Jumat, 20 Juni 2025, setidaknya 60 orang dilaporkan tewas akibat serangan militer Israel yang terjadi di berbagai titik wilayah tersebut. Ironisnya, lebih dari separuh korban jiwa ditemukan di sekitar pusat distribusi bantuan kemanusiaan, di mana ribuan warga Gaza tengah berkumpul dalam antrean panjang, berharap bisa mendapatkan makanan dan kebutuhan pokok lainnya di tengah ancaman kelaparan yang semakin meluas.
Peristiwa memilukan ini kembali menyoroti betapa sulitnya kondisi kemanusiaan di Gaza yang telah mengalami kehancuran infrastruktur dan minimnya akses bantuan selama lebih dari 20 bulan perang yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Situasi ini menambah daftar panjang penderitaan warga sipil yang menjadi korban konflik berkepanjangan antara Israel dan kelompok bersenjata di Gaza.
1. Serangan Mematikan di Koridor Netzarim
Salah satu lokasi yang menjadi pusat perhatian dalam tragedi ini adalah koridor Netzarim, wilayah yang kini berada di bawah kontrol militer Israel. Di lokasi inilah sebagian besar korban jiwa ditemukan. Sekitar 31 orang dilaporkan tewas ketika tengah menunggu pembagian bantuan makanan. Mereka menjadi sasaran serangan yang disebut dilakukan untuk menghalau ancaman, namun kenyataannya justru mengakibatkan kematian warga sipil yang tak bersenjata.
Koridor Netzarim dikenal sebagai salah satu jalur distribusi bantuan utama yang dibuat untuk menjangkau warga Gaza, terutama setelah Israel mengizinkan pembukaan sementara blokade bantuan selama dua bulan terakhir. Namun, dalam praktiknya, jalur ini kerap menjadi lokasi yang tidak aman, dengan beberapa insiden berdarah yang terus berulang sejak akhir Mei.
2. Keamanan Distribusi Bantuan Jadi Sorotan
Distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza saat ini diorganisasi oleh lembaga yang dikenal sebagai Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah organisasi yang mendapat dukungan dari Israel dan Amerika Serikat. Namun, berbagai badan internasional dan organisasi kemanusiaan menolak bekerja sama dengan GHF. Mereka menyatakan keprihatinan terhadap dugaan bahwa lembaga ini digunakan untuk tujuan militer, bukan murni kemanusiaan.
Penolakan ini semakin memperumit jalannya distribusi bantuan, yang seharusnya menjadi harapan terakhir warga sipil yang tengah berjuang untuk bertahan hidup. Kekacauan dan ketidakamanan di titik distribusi membuat banyak warga menjadi korban, bahkan ketika mereka hanya ingin mengakses bantuan untuk kebutuhan dasar.
3. Serangan Lain di Tengah Kota dan Wilayah Selatan
Selain tragedi di koridor Netzarim, serangan udara juga terjadi di wilayah lain seperti Deir el-Balah dan Gaza City. Di Deir el-Balah, 14 warga dilaporkan meninggal dalam dua serangan berbeda yang menghantam pusat kota dan sekitarnya. Sementara di Gaza City, tiga serangan udara menyebabkan 13 korban jiwa. Salah satu lokasi yang menjadi target adalah stasiun pengisian daya ponsel, fasilitas penting bagi warga yang ingin tetap terhubung di tengah situasi darurat.
Di bagian selatan Gaza, dua orang dilaporkan tewas akibat insiden penembakan dalam dua peristiwa terpisah. Keseluruhan insiden ini menambah parah jumlah korban sipil, yang sebagian besar adalah warga biasa yang tak terlibat dalam konflik bersenjata, termasuk perempuan dan anak-anak.
4. Media dan Akses Terbatas, Dunia Internasional Didesak Bertindak
Kondisi di Jalur Gaza semakin sulit untuk dipantau secara akurat karena pembatasan ketat terhadap akses media. Jurnalis internasional kesulitan masuk ke wilayah tersebut, dan informasi yang beredar pun seringkali sulit diverifikasi secara independen. Hal ini membuat dunia internasional semakin sulit mengambil sikap yang tepat atas eskalasi kekerasan yang terus berlangsung.
Desakan terhadap komunitas internasional untuk mengambil tindakan nyata pun semakin kuat. Organisasi-organisasi kemanusiaan menyerukan perlindungan terhadap warga sipil serta pembukaan jalur bantuan yang aman dan netral. Krisis ini bukan hanya tragedi regional, tapi juga isu kemanusiaan global yang menuntut tanggung jawab bersama untuk menghentikan penderitaan yang sudah terlalu lama berlangsung.