Optimisme Meningkat, AS dan China Dekat dengan Kesepakatan Dagang Baru

9 June 2025 13:14 WIB
trump-dan-xi-jinping-saat-bertemu-di-sela-sela-g20-di-osaka-jepang-tahun-2019-lalu-1749025443259_169.jpeg

Kuatbaca.com - Negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali menunjukkan sinyal positif setelah pertemuan penting yang berlangsung di London pada Senin, 9 Juni 2025. Pemerintah AS melalui Direktur Dewan Ekonomi Nasional, Kevin Hassett, menyatakan keyakinannya bahwa kesepakatan final dapat segera tercapai. Hal ini membuka harapan baru bagi kedua negara untuk mengakhiri ketegangan yang telah berlangsung sejak awal tahun akibat perang dagang yang memanas.

Pertemuan tersebut menjadi lanjutan dari dialog yang sudah dibuka sebelumnya, termasuk komunikasi langsung antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Diskusi ini dinilai mengalami kemajuan pesat dalam beberapa pekan terakhir, memberikan kepercayaan diri kepada para pejabat AS bahwa jalan menuju kesepakatan semakin terbuka.

1. Fokus Utama: Pasokan Mineral Langka dan Tarif Perdagangan

Salah satu poin penting dalam negosiasi kali ini adalah tentang pasokan mineral langka yang selama ini menjadi perhatian utama Amerika Serikat. Mineral tersebut merupakan komponen vital dalam produksi berbagai perangkat teknologi, mulai dari smartphone, kendaraan listrik, hingga sistem persenjataan canggih. Pemerintah AS berharap agar ekspor mineral dari China dapat kembali ke tingkat normal sebelum meningkatnya tensi perang dagang pada April 2025.

Walaupun ekspor mineral tersebut telah meningkat, AS merasa volume yang dikirim masih belum sesuai dengan komitmen awal yang sempat dicapai di Jenewa. Ini menjadi fokus utama dalam dialog lanjutan, mengingat ketergantungan sektor industri AS terhadap bahan mentah strategis tersebut.

2. Struktur Tarif Baru: Strategi AS untuk Menekan China

Kesepakatan perdagangan yang sedang dinegosiasikan mencakup revisi terhadap tarif impor kedua negara. Saat ini, AS telah menurunkan tarif atas produk China dari 145% menjadi 30% sebagai bagian dari kesepakatan awal 90 hari. Sebagai imbalannya, China menurunkan tarif produk AS dari 125% menjadi 10%. China juga menunda berbagai pembatasan nontarif sebagai bagian dari komitmen tersebut.

Namun, masih terdapat ketidakpastian mengenai tingkat tarif jangka panjang yang akan diberlakukan. Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyebut bahwa tarif dasar tidak akan berada di bawah 10%. Pemerintah juga menegaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri sekaligus menciptakan posisi tawar yang lebih kuat dalam negosiasi.

3. Dampak Tarif Terhadap Ekonomi Domestik AS

Kebijakan perdagangan yang agresif tersebut membawa dampak langsung pada ekonomi domestik AS. Salah satunya adalah inflasi yang mulai melambat. Pada April 2025, inflasi tahunan turun menjadi 2,3% dari 2,4% di bulan sebelumnya. Hal ini terjadi bersamaan dengan peningkatan penerimaan dari sektor bea cukai, yang mencapai rekor US$ 16,3 miliar hanya dalam satu bulan.

Menurut data Departemen Keuangan AS, total penerimaan dari bea masuk sepanjang tahun 2025 sudah menembus angka US$ 63,3 miliar—naik lebih dari US$ 15 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pemerintah mengklaim bahwa pendapatan ini membantu menekan defisit anggaran negara.

Kevin Hassett menegaskan bahwa kebijakan perdagangan yang diterapkan secara menyeluruh telah membantu meredam inflasi dan mendatangkan pendapatan tambahan dari negara-negara mitra, termasuk China. Hal ini menjadi salah satu strategi utama dalam mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dan menstabilkan neraca fiskal.

4. Prediksi Dampak Jangka Panjang terhadap Defisit Negara

Kantor Anggaran Kongres AS (CBO) memproyeksikan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan secara konsisten dapat memberikan dampak positif terhadap pengurangan defisit dalam jangka panjang. Tanpa memperhitungkan efek samping terhadap perekonomian, pendapatan tarif berpotensi memangkas defisit federal hingga US$ 3 triliun selama 10 tahun ke depan.

Namun di sisi lain, RUU yang diajukan oleh Partai Republik untuk mendukung kebijakan ekonomi Presiden Trump juga diperkirakan dapat menambah beban utang negara sebesar US$ 3,8 triliun. Saat ini, utang nasional AS telah menembus angka US$ 36 triliun, setara dengan sekitar 7% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

internasional

Fenomena Terkini






Trending