Kuatbaca - Di usia yang masih sangat muda, Lucy Guo telah menorehkan prestasi luar biasa. Di tengah sorotan dunia pada para selebritas dan tokoh teknologi, nama Lucy kini mencuat sebagai miliarder mandiri termuda di dunia. Menariknya, ia melampaui popularitas dan kekayaan Taylor Swift dalam kategori tersebut—tetapi dengan cara yang jauh dari gemerlap panggung atau gaya hidup mewah.
Dengan total kekayaan diperkirakan mencapai Rp 21 triliun, Lucy menjadi sosok yang menginspirasi sekaligus mengejutkan. Mengapa? Karena gaya hidupnya jauh dari apa yang biasanya diasosiasikan dengan para miliarder muda zaman sekarang. Tak ada koleksi mobil mewah, tidak pula rumah-rumah megah yang sering dipamerkan di media sosial. Lucy tetap memilih hidup dalam kesederhanaan yang nyaris tak masuk akal bagi banyak orang.
Lucy memulai perjalanannya dari bangku kuliah jurusan ilmu komputer di Carnegie Mellon, salah satu universitas teknologi ternama di Amerika Serikat. Namun, jalan hidupnya berbelok drastis ketika ia memutuskan untuk keluar dan mengejar pengalaman langsung di dunia kerja. Ia sempat magang di Facebook—sebuah langkah yang menjadi batu loncatan menuju masa depannya di dunia teknologi.
Pada usia 21 tahun, Lucy ikut mendirikan Scale AI, sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang kecerdasan buatan. Startup ini berkembang pesat dan kini menjadi salah satu unicorn yang diperhitungkan di sektor teknologi global. Meskipun kemudian ia dikeluarkan dari manajemen perusahaan akibat perbedaan pandangan dengan salah satu pendiri lainnya, Lucy tetap memegang sekitar 5% saham, yang kemudian menjadi sumber utama kekayaannya.
Di balik statusnya sebagai miliarder, Lucy memilih menjalani hidup yang tetap sederhana. Ia masih tinggal di apartemen yang relatif biasa di Miami dan Los Angeles, dua kota besar dengan biaya hidup tinggi. Namun yang membuat banyak orang tercengang adalah kenyataan bahwa kendaraan pribadinya hanyalah sebuah Honda Civic tua. Bukan Tesla, bukan Porsche, bukan pula supercar lain yang biasanya menghiasi garasi para miliarder muda.
Tak hanya itu, pilihan pakaiannya pun jauh dari label mewah. Lemarinya lebih banyak diisi oleh pakaian murah dari toko-toko online fast fashion. Bukan karena dia tidak mampu, tapi karena memang tidak tertarik menghabiskan uang untuk hal-hal yang menurutnya tidak penting. Ia bahkan menyebut sebagian besar pakaian yang dimilikinya adalah gratisan dari merek-merek kecil atau hasil promosi.
Banyak pengusaha sukses berlomba-lomba menunjukkan gaya hidup jet-set sebagai simbol status. Lucy berbeda. Ia lebih memilih menggunakan penerbangan komersial biasa untuk bepergian. Kelas bisnis hanya dipilih jika memang perjalanan sangat panjang. Hal ini tak hanya menunjukkan sikap hemat, tetapi juga kesadaran bahwa kenyamanan tidak selalu berarti kemewahan.
Dalam keseharian, Lucy juga kerap memanfaatkan promo atau diskon untuk layanan seperti makanan atau transportasi. Bahkan ketika menggunakan layanan pesan antar makanan, ia masih memperhatikan promo "beli satu gratis satu". Ia mengaku tidak malu atau merasa rendah karena tetap berhemat meski bergelimang kekayaan.
Apa yang dilakukan Lucy Guo secara tidak langsung menantang stereotip tentang orang kaya dan sukses. Di tengah budaya pop yang kerap memamerkan kemewahan sebagai simbol pencapaian, Lucy menjadi anomali yang menyegarkan. Ia membuktikan bahwa sukses tidak harus dibarengi dengan gaya hidup boros atau pencitraan glamor.
Dalam pandangannya, banyak orang kaya merasa perlu menunjukkan kekayaan mereka agar mendapat pengakuan dari lingkungan sosial. Namun Lucy memilih jalur yang berbeda. Ia nyaman dengan dirinya sendiri, fokus pada tujuan, dan menjadikan kekayaan bukan sebagai alat pamer, melainkan sebagai alat bantu untuk menciptakan dampak yang lebih besar ke depannya.