Korea Selatan Terkena Imbas: Tarif Trump Mulai Lukai Kinerja Ekspor

Kuatbaca - Kebijakan tarif impor tinggi yang kembali digulirkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mulai memperlihatkan dampaknya di pasar global. Kali ini, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang merasakan tekanan langsung. Negeri Ginseng yang dikenal sebagai raksasa ekspor di sektor otomotif dan teknologi harus menghadapi kenyataan pahit: angka ekspor mereka ke AS dan China menunjukkan penurunan signifikan hanya dalam hitungan minggu.
Ekspor Korea Selatan Mulai Menyusut
Data terbaru menunjukkan bahwa selama periode 1 hingga 20 April 2025, ekspor Korea Selatan tercatat menyusut hingga 5,2 persen secara tahunan. Angka ini cukup mencolok, mengingat Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor, terutama ke negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China.
Sektor otomotif, yang selama ini menjadi andalan ekspor Negeri Ginseng, menjadi salah satu yang paling terpukul. Penjualan mobil ke luar negeri tercatat turun hingga 6,5 persen, sementara ekspor komponen dan suku cadangnya menyusut 1,7 persen. Penurunan ini tentu menjadi sinyal kekhawatiran bagi pelaku industri otomotif Korea yang sudah lama menggantungkan pertumbuhan pada pasar global.
Tarif Trump dan Ketegangan Baru dalam Perdagangan Global
Latar belakang utama dari kemerosotan ini adalah keputusan Trump untuk kembali memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari puluhan negara, termasuk Korea Selatan. AS kini menerapkan tarif umum sebesar 10 persen dan tarif khusus sebesar 25 persen untuk sektor otomotif. Meskipun untuk Korea Selatan, penerapan tarif 25 persen masih dalam masa penundaan selama 90 hari, namun kekhawatiran investor dan pelaku industri tampaknya sudah mulai terasa lebih dulu.
Dalam perdagangan internasional, sentimen dan ekspektasi pasar seringkali bergerak lebih cepat dari kebijakan resmi. Hanya dengan pengumuman tarif, perusahaan-perusahaan besar sudah mulai menahan laju ekspor, menunda kontrak pengiriman, atau bahkan mencari pasar alternatif untuk meminimalisir risiko kerugian yang lebih besar.
AS dan China Sama-Sama Lesu, UE Jadi Peluang Baru?
Secara geografis, penurunan terbesar dialami ekspor Korea Selatan ke Amerika Serikat yang turun hingga 14,3 persen. China, sebagai mitra dagang terbesar Korea Selatan, juga menunjukkan penurunan meskipun tidak sedrastis AS, yaitu sebesar 3,4 persen. Penurunan ekspor ke dua negara raksasa ini jelas memengaruhi perekonomian Korea yang sangat tergantung pada perdagangan luar negeri.
Namun, di balik kabar buruk tersebut, muncul secercah harapan dari kawasan lain. Ekspor Korea Selatan ke Uni Eropa justru mencatatkan pertumbuhan yang cukup kuat, yaitu sebesar 13,8 persen. Ini menunjukkan bahwa perusahaan Korea mulai memutar arah ke pasar-pasar yang lebih stabil dan terbuka dalam jangka pendek.
Di tengah turbulensi perdagangan, sektor semikonduktor tetap menjadi penyelamat bagi neraca ekspor Korea Selatan. Industri chip, yang selama ini menjadi jantung teknologi global, mencatatkan kenaikan ekspor sebesar 10,7 persen. Kenaikan ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap produk semikonduktor masih tinggi di berbagai belahan dunia, terutama untuk memenuhi kebutuhan sektor teknologi dan AI yang terus berkembang.
Semikonduktor kini menjadi semacam "benteng terakhir" yang menopang performa ekspor Korea Selatan di tengah badai tarif dan ketidakpastian geopolitik. Namun, ketergantungan pada satu sektor juga bukan tanpa risiko, terlebih jika negara pesaing seperti Taiwan dan Jepang mulai meningkatkan kapasitas produksi mereka.
Dengan masa tenggang 90 hari sebelum tarif tambahan diberlakukan penuh oleh AS, Korea Selatan kini berada di persimpangan penting. Pemerintah dan pelaku industri harus bergerak cepat untuk beradaptasi—baik melalui diversifikasi pasar ekspor, negosiasi ulang perjanjian dagang, maupun meningkatkan daya saing produk lokal agar tetap diminati meskipun terkena bea masuk.
Ketegangan dagang global, jika tak segera mereda, berpotensi menghambat pemulihan ekonomi dunia yang baru saja bangkit dari krisis pandemi dan gejolak geopolitik. Korea Selatan hanyalah satu contoh dari negara-negara eksportir yang kini harus menavigasi dunia baru yang lebih proteksionis dan tak menentu.