Kuatbaca - Baru-baru ini, berita soal jet tempur J-10C milik Pakistan yang dilengkapi rudal PL-15 buatan China berhasil menjatuhkan pesawat Rafale India menarik perhatian dunia. Kabar ini memunculkan pergeseran pandangan mengenai kualitas senjata China yang selama ini dianggap kurang mumpuni dibandingkan persenjataan negara-negara Barat atau Prancis.
Selama ini, senjata China sering dianggap sebagai barang “murahan” dengan kualitas di bawah standar global. Namun, aksi J-10C tersebut menjadi titik balik persepsi. Bagi negara yang relatif tidak banyak terlibat konflik militer sejak perang Vietnam 1979, pencapaian ini dianggap sebagai kemenangan besar, khususnya dalam hal citra dan kepercayaan terhadap persenjataan China.
Dulu, China lebih dikenal sebagai pemasok senjata ringan dan kendaraan militer dasar seperti tank, terutama ke Pakistan. Namun kini, China semakin menunjukkan kemampuan mengembangkan dan memproduksi senjata canggih yang mampu bersaing di medan tempur modern. Hal ini membuat semakin banyak negara tertarik untuk membeli produk militer China yang dianggap relatif murah namun berteknologi tinggi.
Perusahaan-perusahaan besar seperti Norinco Group yang memproduksi kendaraan lapis baja dan sistem anti-rudal, serta Aviation Industry Corporation of China (AVIC) yang memproduksi jet J-10C, menunjukkan bahwa China telah bertransformasi menjadi pemain utama dalam industri pertahanan global.
Meski begitu, masih ada keraguan besar terkait kualitas dan daya tahan senjata buatan China. Harga yang murah sering kali disertai biaya tersembunyi, terutama dalam hal pemeliharaan dan perawatan jangka panjang. Beberapa negara pengguna senjata China sempat menghadapi masalah teknis serius yang mengganggu operasional peralatan mereka.
Contohnya, Myanmar terpaksa mengandangkan armada jet tempur mereka akibat kerusakan struktural dan masalah teknis lainnya. Bangladesh juga sempat mengajukan keluhan atas kualitas perangkat militer yang diterimanya. Di Pakistan, armada fregat F-22P menghadapi penurunan kemampuan yang signifikan karena masalah teknis, memaksa angkatan laut untuk mengoperasikannya secara terbatas.
Satu hal yang menjadi kendala utama adalah masalah interoperabilitas, atau kesesuaian sistem senjata China dengan teknologi dari negara lain. Hal ini membatasi kemampuan China untuk memperluas ekspor senjata ke berbagai negara yang selama ini mengandalkan teknologi Barat atau Rusia.
Analis senior dari Bloomberg Intelligence menyebutkan bahwa keraguan soal kemampuan tempur dan isu teknis lainnya masih menjadi penghambat utama. Meski demikian, China terus mengembangkan teknologi militernya dan memperbaiki kualitas produk agar lebih kompetitif di pasar internasional.
Kemenangan J-10C dalam insiden terakhir berpotensi membuka pintu bagi China untuk memperluas pasar ekspor militernya, khususnya di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Wilayah-wilayah ini biasanya sulit mengakses teknologi Barat paling mutakhir karena berbagai kendala politik dan ekonomi.
Dengan menawarkan alternatif yang lebih terjangkau dan teknologi yang semakin matang, China bisa menarik minat negara-negara tersebut untuk menggunakan persenjataan produksi dalam negeri mereka.
Momen J-10C membuktikan bahwa China sudah berada pada jalur yang benar dalam mengembangkan industri pertahanan. Keberhasilan ini membawa angin segar sekaligus tantangan baru: membuktikan kualitas dan daya tahan jangka panjang produk mereka agar tidak sekadar menang dalam satu duel udara, tetapi juga bisa dipercaya di medan tempur nyata dalam waktu lama.
Perjalanan China di dunia persenjataan internasional masih panjang, namun pencapaian terbaru ini adalah bukti nyata bahwa “produk China” kini mulai dipandang bukan lagi sekadar murah dan inferior, melainkan sebagai opsi yang layak diperhitungkan di panggung global.