Elon Musk Mundur dari Pemerintahan Trump: Analisis Pakar Ungkap Alasan di Baliknya

Kuatbaca.com - Keputusan CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, untuk mengundurkan diri dari jabatan khusus di pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi sorotan publik dan media internasional. Mundurnya Musk dari posisi sebagai anggota Departemen Efisiensi Pemerintah (Department of Government Efficiency/DOGE) disinyalir bukan hanya karena faktor teknis, melainkan juga politis dan pribadi.
Setelah menjabat selama kurang lebih 130 hari dalam posisi tersebut, Musk mengumumkan pengunduran dirinya tepat pada akhir Mei 2025. Hal ini terjadi di tengah gejolak internal yang sedang melanda pemerintahan Trump, terutama terkait kebijakan efisiensi besar-besaran yang menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai lembaga pemerintahan.
1. Kebijakan Efisiensi Trump dan Dampaknya pada Pegawai Pemerintah
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, kebijakan efisiensi ekstrem yang dijalankan oleh pemerintahan Trump menjadi salah satu pemicu utama mundurnya Musk. Efisiensi ini tidak hanya memangkas anggaran dan sumber daya, tapi juga berdampak langsung terhadap pegawai negeri sipil, termasuk mereka yang selama ini menjadi bagian dari basis pendukung Trump sendiri.
"Efisiensi yang dilakukan besar-besaran dan terkena pada banyak pegawai AS, termasuk yang terafiliasi dengan Partai Republik dan pendukung Trump. Mereka kecewa dengan Trump. Trump tidak mau ambil risiko kehilangan pendukungnya," ungkap Prof. Hikmahanto dalam wawancara pada Sabtu, 31 Mei 2025.
Lebih jauh, kebijakan ini menyasar berbagai lembaga penting seperti USAID dan Voice of America (VoA), yang selama ini menjadi alat diplomasi strategis Amerika Serikat. Efek domino dari langkah ini bahkan telah mempengaruhi pandangan negara-negara lain terhadap kepemimpinan Trump.
2. Revolusi Digital: Ketidaksesuaian Visi antara Musk dan Trump
Dalam kebijakan efisiensinya, pemerintahan Trump disebut mendorong otomatisasi dan digitalisasi instansi melalui penggunaan mesin dan perangkat lunak canggih, menggantikan peran manusia. Secara ironis, pendekatan ini justru berlawanan dengan narasi kampanye Trump yang menjanjikan penciptaan lapangan kerja baru bagi warga Amerika.
Menurut Prof. Hikmahanto, kebijakan itu menimbulkan pertentangan internal bagi Musk. "Kebijakan ini hendak menggantikan manusia dengan mesin dan software. Padahal Trump dalam kampanyenya justru ingin membuka banyak lowongan pekerjaan," jelasnya.
Sebagai tokoh sentral dalam perkembangan teknologi dunia, Musk dikenal sebagai pendukung otomatisasi. Namun dalam konteks pemerintahan, pendekatan Trump dianggap tidak proporsional dan kurang memperhatikan dampak sosial jangka panjang.
3. Ketegangan Personal dan Ketidakcocokan dalam Kepemimpinan
Salah satu faktor lain yang disebut menjadi pemicu pengunduran diri Musk adalah hubungan personal antara dirinya dengan Presiden Trump. Menurut pengamatan Prof. Hikmahanto, interaksi antara keduanya dalam beberapa waktu terakhir mulai menunjukkan tanda-tanda renggang.
"Belakangan Trump seperti tidak mengacuhkan Elon sehingga Elon merasa lebih baik keluar dari pemerintahan. Sudah tidak dijadikan teman diskusi bahkan disanjung-sanjung," tambahnya.
Ketidakhadiran Musk dalam forum-forum strategis belakangan ini pun menjadi sinyal bahwa ia tidak lagi dianggap bagian dari lingkaran dalam pembuat kebijakan. Posisi tersebut membuatnya memilih mundur secara terhormat, meskipun masih menjabat secara formal hingga akhir Mei.
4. Kritik Musk terhadap Kebijakan Pajak dan Anggaran
Sebelum pengunduran dirinya, Elon Musk juga sempat mengutarakan kekecewaan terhadap rancangan undang-undang pajak dan pengeluaran Partai Republik yang sedang digodok di Kongres AS. Dalam wawancaranya dengan CBS News pada 27 Mei, Musk mengatakan:
"Sejujurnya, saya kecewa melihat RUU pengeluaran besar-besaran yang meningkatkan defisit anggaran, bukan hanya menguranginya, dan merusak pekerjaan yang dilakukan tim DOGE."
Pernyataan tersebut memperlihatkan ketidaksesuaian visi fiskal antara Musk dan partai pendukung Trump, di mana ia memandang langkah-langkah legislatif justru berisiko menambah beban anggaran negara tanpa perencanaan efisiensi yang jelas.