Amerika Serikat Sambut Pengungsi Kulit Putih Afrika Selatan di Era Trump: Kebijakan yang Memicu Kontroversi

Kuatbaca - Amerika Serikat baru-baru ini menyambut kedatangan 59 warga kulit putih asal Afrika Selatan yang diakui sebagai "pengungsi" oleh pemerintahan Trump. Momen ini menandai sebuah babak baru dalam kebijakan imigrasi AS, di mana kelompok etnis Afrikaner dari Afrika Selatan diterima dengan status pengungsi. Rombongan tersebut tiba di Washington DC menggunakan pesawat carteran pribadi yang didanai oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Kedatangan mereka mendapat sambutan langsung dari Wakil Menteri Luar Negeri AS, Christoph Landau, yang menyampaikan bahwa Amerika Serikat akan menjadi tempat yang aman dan bebas bagi mereka untuk memulai kehidupan baru. Rombongan Afrikaner itu tampak membawa bendera Amerika Serikat, seolah menyimbolkan harapan baru di tanah impian. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke berbagai wilayah di Amerika, di mana jaringan lembaga sosial sudah dipersiapkan untuk membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan baru.
Latar Belakang Afrikaner dan Kontroversi di Afrika Selatan
Afrikaner merupakan kelompok etnis kulit putih di Afrika Selatan yang mayoritas merupakan keturunan Belanda, Jerman, dan Prancis. Pada masa lalu, mereka pernah memegang kendali penuh dalam pemerintahan selama era apartheid, sebuah rezim yang dikenal dengan kebijakan pemisahan ras yang ketat dan menindas mayoritas kulit hitam di negara tersebut.
Meskipun apartheid telah berakhir sejak tahun 1994, ketegangan dan konflik masih kerap terjadi. Pemerintahan Trump mengklaim bahwa para petani kulit putih di Afrika Selatan sedang menjadi sasaran kekerasan, bahkan disebut menghadapi ancaman genosida. Klaim ini sempat menjadi topik panas dan menimbulkan respons keras dari pemerintah Afrika Selatan, yang menolak tuduhan tersebut. Menurut pemerintah Afrika Selatan, para petani kulit putih mengalami kejahatan dengan risiko yang sama seperti warga Afrika Selatan lainnya, bukan target khusus.
Klaim Trump terkait pengambilalihan tanah tanpa kompensasi oleh pemerintah Afrika Selatan juga menjadi perdebatan. Trump menuduh pemerintah Afrika Selatan merampas tanah milik petani kulit putih secara paksa, meskipun sampai saat ini, pemerintah Afrika Selatan menegaskan bahwa tidak ada tindakan penyitaan tanah yang dilakukan tanpa kompensasi. Kebijakan reformasi tanah tersebut, menurut pemerintah, bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan ekonomi yang masih terjadi akibat peninggalan sistem apartheid.
Dukungan Pemerintahan Trump dan Tuduhan Diskriminasi Rasial
Langkah Trump menyambut para Afrikaner sebagai pengungsi memicu banyak kontroversi, terutama di tengah kebijakan imigrasi ketat yang diterapkannya terhadap imigran dari negara-negara berkembang. Pada Februari 2025, Trump menandatangani perintah eksekutif yang membuka pintu bagi warga kulit putih Afrika Selatan untuk mengajukan status pengungsi. Hal ini terjadi di saat yang bersamaan dengan penghentian penerimaan pengungsi dari berbagai negara lain.
Kritik datang dari berbagai pihak, termasuk Senator Jeanne Shaheen dari Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat. Ia menyebut langkah Trump tersebut sebagai tindakan bermotif politik dan upaya untuk menulis ulang sejarah. Kebijakan ini dinilai memprioritaskan satu kelompok tertentu berdasarkan ras, sementara ribuan pengungsi lain dari negara konflik justru tidak mendapat kesempatan yang sama.
Tidak hanya dari kalangan politisi, organisasi keagamaan seperti Layanan Migrasi Gereja Episkopal Amerika Serikat juga menolak perintah pemerintah federal untuk membantu pemukiman kembali warga Afrika Selatan berkulit putih. Mereka menyatakan bahwa keputusan ini tidak sejalan dengan nilai-nilai keadilan rasial dan rekonsiliasi yang dipegang oleh gereja tersebut.
Program Pemukiman dan Rencana Ke Depan
Para Afrikaner yang tiba di Amerika Serikat akan menjalani program pemukiman kembali yang telah disusun oleh pemerintah. Mereka akan mendapatkan bantuan federal selama 90 hari pertama untuk kebutuhan dasar seperti tempat tinggal dan makanan. Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa langkah ini adalah bagian dari kebijakan "America First" yang diusung oleh Trump, yang menekankan perlindungan terhadap korban diskriminasi rasial di seluruh dunia.
Juru bicara Departemen Luar Negeri, Tammy Bruce, menambahkan bahwa Amerika Serikat berencana untuk menerima lebih banyak warga Afrikaner dalam beberapa bulan ke depan. Langkah ini disebut sebagai bentuk dukungan kepada komunitas yang dianggap mengalami penindasan di Afrika Selatan.
Pemerintah Afrika Selatan, melalui Presiden Cyril Ramaphosa, menolak keras tuduhan adanya persekusi terhadap warga kulit putih di negaranya. Ramaphosa menegaskan bahwa Afrikaner justru merupakan kelompok yang paling makmur secara ekonomi dan masih menguasai sebagian besar tanah di Afrika Selatan. Menurutnya, langkah Amerika Serikat menerima mereka sebagai pengungsi menunjukkan adanya kesalahpahaman terhadap situasi yang sebenarnya.
Ramaphosa mengungkapkan bahwa ia sudah berbicara langsung dengan Trump dan menjelaskan situasi nyata di lapangan. Ia menyatakan bahwa Trump tampaknya mengerti penjelasan tersebut, meskipun keputusan politiknya tidak berubah.
Di sisi lain, para pengamat politik menilai bahwa langkah Trump ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kemanusiaan, tetapi juga sarat dengan kepentingan politik, terutama dalam meraih dukungan dari kelompok sayap kanan di Amerika Serikat yang bersimpati terhadap Afrikaner.
Kedatangan para pengungsi kulit putih asal Afrika Selatan ini menjadi sorotan internasional dan memicu diskusi panjang mengenai arah kebijakan imigrasi Amerika Serikat. Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap korban kekerasan. Namun di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan mengapa pemerintah AS tampak lebih terbuka terhadap satu kelompok tertentu berdasarkan ras, sementara ribuan pengungsi dari negara konflik lainnya ditolak mentah-mentah.
Apakah langkah ini akan membawa perubahan signifikan atau justru memperdalam kontroversi politik di Amerika? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Yang jelas, kebijakan ini telah membuka babak baru dalam sejarah imigrasi Amerika Serikat di era Donald Trump.