Poin-poin Penting Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

JAKARTA, DPR RI mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Selasa (12/4/2022). UU TPKS terdiri dari 93 Pasal dan 12 Bab. Pengesahan UU ini telah dinanti-nanti, lantaran proses perumusan awal hingga pengesahannya membutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun.
Komnas Perempuan pertama kali menggagas RUU TPKS yang awalnya berjudul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2012. Saat rapat paripurna pengesahan RUU TPKS, Ketua DPR RI Puan Maharani mengungkapkan, pengesahan RUU ini menjadi undang-undang merupakan hadiah bagi perempuan Indonesia menjelang Hari Kartini.
"Pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang adalah hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia, apalagi menjelang diperingatinya Hari Kartini," kata Ketua DPR Puan Maharani dari meja pimpinan, suaranya bergetar menahan tangis.
Pada prosesnya, pendahulu UU TPKS, RUU PKS, sempat keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas sebelum akhirnya disahkan pada tahun ini. RUU ini pertama kali masuk Prolegnas Prioritas tahun 2016. Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya mengatakan, disahkannya RUU TPKS merupakan buah dari komitmen politik DPR dan pemerintah serta partisipasi masyarakat luas.
"Ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah undang-undang direalisasikan, sebuah undang-undang dimenangkan, bagaimana komitmen politik yang besar dari anggota dewan, komitemen politik yang besar dari pemerintah, serta partisipasi publik yang sangat luas khususnya masyarakat sipil dalam hal ini," kata dia.
Seiring dengan pengesahan UU TPKS, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (Puskapa) memberi beberapa catatan penting.
"Pengesahan UU TPKS ini punya arti penting untuk penguatan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara untuk mencegah, menangani kasus kekerasan seksual dan memulihkan korban secara komprehensif," ujar Peneliti ICJR Maidina Ramhawati dalam keterangan tertulisnya.
Adapun secara lebih rinci, berikut adalah poin-poin penting yang tertuang dalam UU TPKS:
Atur 9 jenis kekerasan seksual Terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual
yang diatur dalam Pasal (4) Ayat (1) UU TPKS.
Sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kotrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi.
Selain itu, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Terhadap sembilan tindak kekerasan seksual tersebut diatur hukuman pidana terhadap pelaku di dalam UU TPKS.
Selain kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang disebut dalam Ayat (1), terdapat 10 jenis kekerasan seksual lain yang tercantum dalam Pasal (4) Ayat 2, yakni perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak, dan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.
Kemudian, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk ekspolitasi seksual, serta kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.
Ada pula tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudahan pelaporan
UU TPKS memberi kemungkinan bagi korban atau siapa pun yang mengetahui atau melihat peristiwa tindak kekerasan seksual untuk melakukan pelaporan. Pelaporan ini dapat dilakukan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, serta kepolisian. Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 39 Ayat (1) UU TPKS.
"Korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan peristiwa yang merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana," begitu bunyi aturan tersebut, Rabu (13/4/2022).
Kemudian pada ayat berikutnya disebutkan, tenaga medis atau tenaga kesehatan wajib menginformasikan kepada UPTD PPA, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, atau kepolisian jika menemukan dugaan terjadinya TPKS. Bila korban menyampaikan laporan langsung lewat kepolisian, Pasal 41 Ayat (4) UU TPKS menyebut, polisi wajib menerima laporan tersebut.
"Dalam hal korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima laporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan korban," bunyi aturan tersebut.
Perlindungan dan hak korban
Kemudian pada Pasal (42) Ayat (1) disebutkan, dalam waktu 1x24 jam sejak pelaporan, korban berhak mendapatkan perlindungan dari kepolisian. Kemudian pada Ayat (3) dijelaskan, dalam rangka melindungi korban, aparat kepolisian dapat membatasi gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.
Adapun pada periode waktu yang sama terhitung sejak pemberian pelindungan sementara, kepolisian wajib mengajukan permintaan pelindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Selain itu, UU TPKS juga mengatur mengenai hak korban kekerasan seksual. Pada Pasal 67 disebutkan, hak korban meliputi hak atas penanganan, hak atas pelindungan, dan hak atas pemulihan.
Hak atas penanganan termasuk di dalamnya hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan hingga pemulihan, hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan hukum, hak atas penguatan psikologis, dan hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis.
Hak atas pelindungan meliputi perlindugan dari ancaman atau kekerasan pekaku dan pihak lain, pelindungan atas kerahasiaan identitas, pelidnungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban, pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik, dan pelindungan korban atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas TPKS yang telah dilaporkan.
Adapun hak korban atas pemulihan meliputi rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan atau kompensasi, dan reintegrasi sosial.
Hak korban terhadap pemulihan mulai dari sebelum hingga setelah proses peradilan.
Penegak hukum wajib ikuti pelatihan
UU TPKS mengatur mengenai syarat bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 21 UU TPKS. Pada Pasal 21 Ayat (1) UU TPKS disebutkan, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara TPKS harus memenuhi persyaratan, memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban.
Selain itu, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual juga harus sudah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara TPKS. Kendati demikian, bila penyidik, penuntut umum, atau hakim belum memenuhi persyaratan yang disebutkan, maka bisa ditangani oleh aparat penegak hukum yang berpengalaman.
"Dalam hal belum terdapat penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditangani oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang berpengalaman dalam menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang," begitu bunyi Pasal 21 Ayat (2) UU TPKS.
Restitusi bagi korban
UU TPKS salah satunya mengatur soal restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual.
"Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya," demikian Pasal 1 angka 20 UU.
Merujuk Pasal 30 Ayat (2) UU TPKS, restitusi dapat diberikan dalam 4 bentuk, yakni ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Kemudian, menurut Pasal 31, restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di kepaniteraan pengadilan negeri tempat perkara diperiksa.
Merujuk Pasal 33 Ayat (1) UU TPKS, restitusi diberikan paling lambat 30 hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima. Jaksa wajib menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memuat pemberian restitusi kepada terpidana pelaku kekerasan seksual, korban, dan LPSK dalam 7 hari sejak salinan putusan pengadilan diterima.
Apabila pemberian restitusi tak dipenuhi sampai batas waktu yang ditentukan, korban atau ahli warisnya harus memberitahukan hal tersebut ke pengadilan. Selanjutnya, pengadilan akan memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
"Hakim dalam putusan memerintahkan jaksa untuk melelang sita jaminan restitusi sepanjang tidak dilakukan pembayaran restitusi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap," bunyi Pasal 33 Ayat 5 UU TPKS.