Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis Jelaskan Wewenang MK dan DPR dalam RUU Pilkada

1. Wewenang DPR dan MK dalam Pembentukan Undang-Undang
Kuatbaca.com - Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, memberikan pandangannya terkait wewenang DPR RI dalam membuat undang-undang, termasuk dalam konteks revisi UU Pilkada. Menurut Margarito, meskipun DPR RI menyepakati aturan yang mungkin bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), aturan tersebut tetap sah karena DPR memiliki wewenang konstitusional untuk membuat undang-undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Margarito menegaskan bahwa wewenang utama MK adalah menguji norma, bukan membuat norma.
2. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Norma
Margarito menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) hanya memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas suatu norma, bukan menciptakan norma baru. Dia menekankan bahwa jika MK melampaui kewenangannya dengan menciptakan norma baru, tindakan tersebut tidak sesuai dengan fungsinya. "MK hanya disuruh menguji, bukan bikin norma," jelas Margarito. Dengan demikian, jika DPR memutuskan untuk membuat norma baru yang berbeda dari putusan MK, maka norma tersebut tetap sah karena dibuat oleh lembaga yang berwenang.
3. Makna 'Final dan Mengikat' dalam Putusan MK
Margarito juga membahas makna 'final dan mengikat' dalam putusan MK. Menurutnya, putusan MK bersifat final dan mengikat jika DPR tidak merespons atau mengubah undang-undang yang terkait dengan putusan tersebut. Namun, jika DPR sebagai pembuat undang-undang merespons dengan membuat aturan baru, maka putusan MK tersebut tidak lagi final dan mengikat. Margarito menjelaskan bahwa 'final' dalam konteks ini berarti tidak ada banding atau kasasi, tetapi tidak berarti norma yang dihasilkan tidak dapat diubah oleh pembuat undang-undang.
4. Sahnya Norma yang Dibuat oleh DPR
Margarito menegaskan bahwa norma yang dibuat oleh DPR tetap sah meskipun tidak sesuai dengan putusan MK, karena DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk membuat undang-undang. "Sah (bila DPR membuat norma tidak mengikuti MK). Karena norma itu diciptakan oleh pembuat norma," tegasnya. Dengan demikian, jika undang-undang Pilkada yang baru disahkan oleh DPR, maka norma yang diatur dalam undang-undang tersebut memiliki kekuatan hukum yang sah.
5. Penundaan Rapat Paripurna Pengesahan RUU Pilkada
Dalam perkembangan terbaru, pimpinan DPR RI menunda rapat paripurna yang dijadwalkan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, atau revisi UU Pilkada. Penundaan ini terjadi karena kuorum forum tidak tercapai, dengan hanya 89 dari 575 anggota DPR yang hadir. Penundaan ini menambah ketidakpastian terkait nasib RUU Pilkada yang sedang dibahas.
Penjelasan Margarito Kamis menyoroti pentingnya memahami batas-batas wewenang antara Mahkamah Konstitusi dan DPR dalam pembentukan norma hukum di Indonesia. Meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, DPR memiliki hak dan kewenangan untuk membuat undang-undang baru, termasuk revisi yang mungkin bertentangan dengan putusan MK. Hal ini menunjukkan kompleksitas proses legislasi dan pentingnya keseimbangan kekuasaan dalam sistem hukum tata negara di Indonesia.