Anomali Media Sosial: Krisis Intelektualitas dan Hujatan terhadap Najwa Shihab

1. Viral dan Kontroversi di Media Sosial
Kuatbaca.com - Nama Najwa Shihab menjadi sorotan di media sosial setelah mendapatkan hujatan masif, terutama di platform TikTok. Polemik ini bermula dari pernyataan Najwa saat proses pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 di Narasi TV, di mana ia menggunakan istilah "nebeng" terkait perjalanan mantan Presiden Joko Widodo menggunakan pesawat TNI AU ke Solo.
Hujatan yang muncul tidak hanya berupa kritik terhadap pernyataannya, tetapi juga melebar ke isu SARA. Bahkan, muncul video pembakaran buku karya Najwa yang diiringi dukungan di kolom komentar. Fenomena ini menunjukkan adanya degradasi intelektualitas dalam penggunaan media sosial di Indonesia.
2. Krisis Intelektualitas dalam Era Digital
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal pendidikan. Berdasarkan data Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2022, Indonesia berada di peringkat ke-66 dari 81 negara. Ditambah lagi, hanya sekitar 6,68% penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan tinggi.
Di sisi lain, hampir setengah penduduk Indonesia (49,9%) aktif menggunakan media sosial. Ketimpangan antara rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya penetrasi media sosial menciptakan fenomena "kebodohan digital," di mana pengguna media sosial cenderung tidak bijak dalam memahami atau merespons isu. Mark Bauerlein dalam bukunya The Dumbest Generation (2008) menyebutkan bahwa akselerasi teknologi tanpa peningkatan pengetahuan objektif dapat melahirkan kebodohan struktural yang memengaruhi pola pikir generasi muda.
3. Normalisasi Tindakan yang Salah: Pembakaran Buku
Buku adalah simbol pengetahuan yang seharusnya dihargai dan dijaga. Namun, dalam kasus Najwa Shihab, normalisasi pembakaran buku menjadi tanda krisis serius dalam intelektualitas masyarakat. Praktik ini memiliki sejarah kelam, seperti pembakaran buku oleh Nazi Jerman, Kudeta Pinochet di Chile, hingga konflik di Irak.
Pembakaran buku karya Najwa tidak hanya mencerminkan sikap intoleran terhadap pandangan berbeda, tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap nilai kebebasan intelektual. Kritik terhadap seseorang tidak seharusnya berujung pada tindakan destruktif terhadap karya intelektualnya.
4. Peran Media Sosial dan Manipulasi Isu
Media sosial seharusnya menjadi ruang inklusif untuk berdialog, tetapi dalam beberapa kasus, ia justru menjadi alat manipulasi. Sinan Aral dalam bukunya The Hype Machine (2020) menjelaskan bagaimana buzzer memanfaatkan algoritma media sosial untuk menggiring opini publik.
Dalam konteks Najwa Shihab, buzzer dan influencer memanfaatkan isu ini untuk menciptakan narasi negatif yang memperkuat polarisasi di masyarakat. Akibatnya, hujatan yang irasional dan berbau SARA muncul, merusak esensi diskusi sehat di ruang publik digital.
5. Solusi untuk Mengatasi Krisis Intelektualitas
Untuk mencegah fenomena serupa terulang, pemerintah perlu meningkatkan literasi digital masyarakat. Kampanye tentang etika bermedia sosial dan pentingnya berpikir kritis harus menjadi prioritas. Selain itu, platform media sosial juga perlu bertanggung jawab dalam mengelola algoritma agar tidak mempromosikan konten yang memecah belah.
Masyarakat pun perlu lebih bijak dalam bermedia sosial, dengan memahami bahwa tidak semua yang muncul di timeline adalah kebenaran absolut. Jika figur sekelas Najwa Shihab bisa menjadi korban, masyarakat umum juga rentan menghadapi hal serupa.
6. Refleksi untuk Masa Depan Demokrasi Digital
Kasus Najwa Shihab menjadi cerminan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga ruang demokrasi digital yang sehat. Krisis intelektualitas tidak hanya merugikan individu, tetapi juga membahayakan masa depan bangsa. Jika dibiarkan, ini dapat menghambat upaya mewujudkan cita-cita besar seperti "Indonesia Emas."
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dari semua pihak pemerintah, masyarakat, dan platform media sosial untuk memastikan bahwa media sosial digunakan secara positif dan konstruktif. Dengan begitu, ruang digital dapat menjadi alat untuk membangun, bukan menghancurkan, intelektualitas bangsa.