Waspada! Imbas Kebijakan Tarif AS, Indonesia Bisa Kebanjiran Impor Tekstil dari China dan Vietnam

6 April 2025 15:14 WIB
2d404f7a-5c5b-4d33-aa9e-8d64ca1baf3d_169.jpeg

Kuatbaca.com-Kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat (AS) berpotensi memicu gelombang masuknya barang-barang tekstil dari negara-negara produsen utama seperti China, Vietnam, India, hingga Bangladesh ke Indonesia. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap kelangsungan industri tekstil dalam negeri yang kini mulai menghadapi tekanan dari berbagai sisi.

Kebijakan resiprokal yang diterapkan pemerintah AS diprediksi akan mendorong negara-negara produsen tekstil mencari pasar alternatif, dan Indonesia dinilai menjadi salah satu target utama. Kondisi ini dapat mengubah peta perdagangan global di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), sekaligus mengancam keseimbangan pasar domestik.


1. Serbuan Produk Impor Bisa Lemahkan Industri Tekstil Dalam Negeri

Dengan kebijakan tarif yang diterapkan AS terhadap negara mitra dagang, terutama China dan Vietnam, pelaku industri tekstil di negara-negara tersebut akan mencari pasar baru untuk membanjiri produk mereka. Indonesia, dengan pasar konsumsi yang besar dan regulasi impor yang belum sepenuhnya ketat, bisa menjadi tujuan strategis.

Jika tidak diantisipasi dengan cepat, masuknya produk tekstil impor akan menyebabkan persaingan tidak sehat bagi industri lokal. Saat ini saja, sebagian besar produk tekstil yang dijual di pasar nasional berasal dari luar negeri. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan menurunkan utilisasi produksi nasional yang saat ini hanya mencapai sekitar 45%.

2. Dorongan Kebijakan Perlindungan Pasar Domestik

Pelaku industri tekstil nasional mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna melindungi pasar dalam negeri. Salah satu langkah yang dianggap krusial adalah mempertahankan kebijakan Persetujuan Teknis (Pertek) untuk pengaturan impor serta penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara ketat.

Dengan mempertahankan regulasi tersebut, Indonesia diharapkan bisa menahan laju impor barang jadi dan sekaligus memperkuat rantai produksi dalam negeri. Selain itu, kebijakan tarif impor balasan juga dinilai lebih efektif dibandingkan pergeseran ke instrumen hambatan non-tarif (NTM dan NTB), yang justru dapat memperburuk situasi jika tidak dikelola dengan hati-hati.


3. Peluang dari AS: Impor Kapas Sebagai Trade-Off

Meski ada tantangan besar, situasi ini juga dapat dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat posisi tawar dagang. Dengan melakukan negosiasi dagang timbal balik dengan AS, Indonesia bisa mengimpor lebih banyak kapas dari Amerika Serikat—komoditas yang selama ini tidak diproduksi dalam negeri.

Kapas tersebut kemudian bisa diolah menjadi benang dan kain oleh industri tekstil nasional sebelum dijual ke pasar lokal maupun diekspor kembali. Langkah ini diharapkan dapat memperbaiki struktur industri TPT dari hulu ke hilir, serta mengurangi ketergantungan pada impor benang, kain, dan pakaian jadi dari negara lain.

4. Perlu Penertiban Sertifikasi Asal Barang untuk Cegah Penyalahgunaan

Selain persoalan impor, isu transshipment atau penyelundupan asal barang juga menjadi perhatian. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul dugaan bahwa barang dari China dikirim ke AS dengan memanfaatkan Surat Keterangan Asal (SKA) dari Indonesia secara tidak sah.

Hal ini tak hanya merugikan industri dalam negeri, tapi juga membuat produsen Indonesia terkena sanksi dari otoritas perdagangan AS seperti Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Untuk mencegah hal serupa terjadi lagi, sangat penting bagi pemerintah untuk menertibkan penerbitan SKA, dan memastikan hanya produk yang benar-benar dibuat di Indonesia yang bisa mendapatkan sertifikasi tersebut.

Kebijakan tarif impor dari AS membawa dampak yang kompleks bagi industri tekstil Indonesia. Di satu sisi, membuka peluang untuk memperluas kerja sama dagang dengan AS melalui komoditas kapas. Namun di sisi lain, juga menimbulkan ancaman berupa membanjirnya produk tekstil murah dari negara lain.

Jika tidak ditangani secara strategis, Indonesia berisiko mengalami penurunan produktivitas di sektor padat

karya yang selama ini menyerap jutaan tenaga kerja. Oleh karena itu, perlu keterlibatan aktif pemerintah dalam menjaga keseimbangan perdagangan, memperkuat industri dalam negeri, dan menata ulang regulasi ekspor-impor secara menyeluruh.

Jika kamu ingin artikel ini diubah ke versi infografik atau ringkasan untuk media sosial, cukup beri tahu saja!

Fenomena Terkini






Trending