Urgensi Regulasi dalam Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia

Kuatbaca.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran telah menjadi salah satu inisiatif ambisius dalam mengatasi krisis gizi di Indonesia. Dengan jumlah penerima manfaat yang terus bertambah, keberlanjutan dan efektivitas program ini sangat bergantung pada regulasi yang jelas dan terstruktur.
Namun, hingga saat ini, kebijakan teknis terkait implementasi MBG masih belum memiliki regulasi yang kuat. Tanpa regulasi yang jelas, program ini berisiko mengalami masalah koordinasi, tata kelola pengadaan, serta efektivitas dalam penggunaan anggaran.
1. Mengapa Program MBG Sangat Dibutuhkan?
Menurut laporan World Food Programme (WFP) 2024, setidaknya 23 juta orang di Indonesia masih mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan gizi seimbang setiap hari. Masalah ini berdampak langsung pada:
- Tingginya angka stunting dan malnutrisi pada anak-anak
- Produktivitas masyarakat yang menurun akibat kekurangan gizi
- Meningkatnya beban biaya kesehatan negara dalam jangka panjang
Dengan adanya program MBG, pemerintah berharap bisa menekan angka stunting, meningkatkan kesehatan masyarakat, serta mengurangi beban ekonomi keluarga miskin.
Pada 6 Januari 2025, program MBG resmi diluncurkan di 31 provinsi melalui 238 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di bawah Badan Gizi Nasional (BGN). Hingga saat ini, MBG telah menjangkau 650 ribu penerima manfaat, termasuk siswa sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, serta balita.
Namun, meskipun program ini terlihat menjanjikan, kekurangan regulasi yang mengatur implementasi MBG menjadi tantangan utama yang harus segera diselesaikan.
2. Tantangan Pelaksanaan MBG Tanpa Regulasi yang Jelas
Ketidaktepatan regulasi dalam pelaksanaan MBG menciptakan tiga masalah utama, yaitu:
a. Kurangnya Koordinasi dan Kewenangan yang Jelas
Program MBG melibatkan banyak kementerian dan lembaga (K/L), seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, serta Pemerintah Daerah. Namun, tanpa regulasi yang tegas, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pihak tidak jelas, sehingga sering terjadi:
- Tumpang tindih kebijakan antara kementerian dan daerah
- Keterlambatan dalam pengambilan keputusan terkait distribusi MBG
- Ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran ke daerah yang benar-benar membutuhkan
Sebagai contoh, Menteri Pendidikan bertanggung jawab atas pemilihan sekolah yang menjadi penerima MBG, tetapi tanpa koordinasi yang baik dengan Bappenas dan Kementerian Keuangan, sering terjadi ketidaksesuaian antara jumlah anggaran yang tersedia dengan kebutuhan di lapangan.
b. Standardisasi Tata Kelola Distribusi dan Pengadaan
Keberhasilan MBG juga bergantung pada sistem distribusi makanan yang efisien dan pengadaan bahan pangan yang transparan. Namun, hingga saat ini, tidak ada aturan yang jelas tentang mekanisme distribusi dan pengadaan dalam program MBG.
Akibatnya, terdapat potensi masalah inefisiensi dan penyimpangan, seperti:
- Makanan yang didistribusikan tidak sesuai standar gizi yang diharapkan
- Pengadaan makanan berpotensi dimonopoli oleh beberapa perusahaan besar
- Adanya praktik penggelembungan harga dalam proses tender penyedia makanan
Jika tidak diawasi dengan baik, program MBG bisa mengalami kebocoran anggaran dan penyalahgunaan wewenang, yang berujung pada penurunan kualitas makanan yang diterima oleh masyarakat.
c. Keterbatasan SDM dalam Pengelolaan Program MBG
Sebagai lembaga baru yang dibentuk pada 15 Agustus 2024, Badan Gizi Nasional (BGN) masih belum memiliki jumlah SDM yang cukup untuk mengelola anggaran MBG yang mencapai Rp 71 triliun.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, setiap instansi yang menggunakan anggaran negara harus memiliki mekanisme audit, evaluasi, serta pengawasan internal yang ketat. Namun, tanpa SDM yang cukup dan berkualitas, pengawasan terhadap pengelolaan anggaran MBG bisa menjadi tidak optimal.
Bahkan, jika anggaran MBG terus meningkat hingga ratusan triliun rupiah, tanpa regulasi yang mengatur sistem rekrutmen SDM yang baik, risiko malpraktik dalam pengelolaan dana bisa semakin tinggi.
3. Solusi: Mendesak Diperlukan Regulasi Pelaksanaan MBG
Untuk mengatasi tantangan di atas, pemerintah harus segera menerbitkan regulasi yang jelas dan mengikat dalam pelaksanaan MBG. Regulasi ini setidaknya harus mencakup:
a. Peraturan Presiden (Perpres) tentang Implementasi MBG
Regulasi ini harus mengatur dengan jelas:
- Struktur koordinasi antar kementerian dan lembaga (K/L)
- Distribusi anggaran MBG secara merata dan transparan
- Standarisasi kualitas makanan dan pengadaan bahan pangan
Tanpa adanya Perpres, program MBG akan sulit dijalankan secara efektif dan berisiko menjadi proyek yang tidak efisien.
b. Pengawasan Ketat dalam Proses Pengadaan dan Distribusi
Pemerintah harus menerapkan mekanisme audit ketat, dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi pengelolaan dana MBG.
Selain itu, mekanisme tender penyedia makanan harus transparan dan kompetitif, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli.
c. Peningkatan Kapasitas SDM dan Digitalisasi Sistem Pengawasan
BGN harus segera merekrut tenaga ahli gizi, pengawas pangan, serta auditor keuangan yang cukup untuk mengelola program MBG. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital dalam monitoring distribusi makanan juga harus diterapkan, sehingga pemerintah bisa melacak dan mengontrol pengiriman makanan secara real-time.
4. Studi Kasus: Jepang dan India Berhasil dengan Regulasi yang Kuat
Program Makan Bergizi Gratis bukanlah hal baru di dunia. Beberapa negara seperti Jepang dan India telah sukses menjalankan program serupa dengan dukungan regulasi yang kuat:
- Jepang memiliki School Lunch Act 1954, yang mengatur standar gizi sekolah secara ketat.
- India menerapkan National Food Security Act 2013, yang mencakup mekanisme pengaduan dan pengawasan ketat bagi penerima manfaat.
Keberhasilan kedua negara ini menunjukkan bahwa regulasi yang baik menjadi kunci utama dalam menjalankan program makan gratis secara efektif.
5. Regulasi Adalah Kunci Keberlanjutan MBG
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Namun, tanpa regulasi yang jelas, program ini bisa menghadapi berbagai kendala, mulai dari inefisiensi anggaran hingga ketidaktepatan distribusi.
Pemerintah harus segera menerbitkan regulasi yang mengatur koordinasi, distribusi, pengawasan, serta pengelolaan SDM dalam program MBG. Jika ini tidak segera dilakukan, MBG bisa menjadi program yang tidak berkelanjutan dan rentan terhadap penyalahgunaan anggaran.
Dengan regulasi yang kuat, Indonesia bisa meniru kesuksesan Jepang dan India, serta menjadikan MBG sebagai solusi jangka panjang dalam mengatasi krisis gizi nasional.