Tenaga Kerja Melimpah, Lapangan Kerja Seret: Pakar Sarankan Ekspor Pekerja ke Luar Negeri

Kuatbaca.com - Fenomena banyaknya lulusan sarjana dan tenaga kerja Indonesia yang terpaksa beralih ke sektor informal seperti sopir ojek online hingga asisten rumah tangga, menjadi cerminan sempitnya peluang kerja formal di dalam negeri. Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Noor Effendi, menyebut bahwa ketimpangan antara jumlah angkatan kerja baru dan lowongan kerja formal yang tersedia menjadi penyebab utama meningkatnya pengangguran terselubung di Indonesia.
1. Lapangan Kerja Tidak Seimbang dengan Pertumbuhan Angkatan Kerja
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Tadjudin, setiap tahunnya Indonesia menerima tambahan 3 hingga 3,5 juta penduduk usia kerja yang berupaya masuk ke pasar kerja. Namun, dengan perhitungan teoretis bahwa pertumbuhan ekonomi 1% hanya mampu menyerap maksimal 300 ribu tenaga kerja, maka pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5% per tahun hanya bisa menciptakan 1,5 juta lapangan kerja baru.
Artinya, ada sekitar 1,5 juta hingga 2 juta orang yang tidak terserap ke pasar kerja formal setiap tahunnya. Hal ini menjelaskan mengapa banyak sarjana terpaksa banting setir, serta meningkatnya jumlah pekerja informal yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.
Situasi ini diperparah dengan banyaknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam beberapa tahun terakhir yang ikut menambah jumlah pencari kerja baru. Ketatnya persaingan membuat sebagian besar tenaga kerja akhirnya beralih ke sektor informal demi bertahan hidup.
2. Ekspor Tenaga Kerja Jadi Solusi Potensial Kurangi Pengangguran
Melihat realitas tersebut, Tadjudin menilai salah satu solusi jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengirim lebih banyak tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Menurutnya, dengan menyalurkan kelebihan pasokan tenaga kerja ke negara-negara yang membutuhkan, Indonesia bisa mengurangi angka pengangguran dan sekaligus menambah devisa negara dari remitansi pekerja migran.
Negara-negara seperti Australia, Polandia, dan Inggris saat ini tengah membuka peluang kerja bagi warga negara asing, khususnya di sektor pertanian dan jasa. Dengan sistem pembayaran berbasis jam kerja, banyak pekerja migran asal Indonesia mampu mendapatkan penghasilan hingga Rp 30 juta per bulan, jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan upah minimum di Indonesia.
Selain itu, tren global menunjukkan bahwa negara maju tengah mengalami krisis kekurangan tenaga kerja, terutama untuk pekerjaan-pekerjaan praktis yang tidak memerlukan gelar tinggi, tetapi lebih kepada keterampilan teknis dan kemauan kerja.
3. Sikap Tenaga Kerja Indonesia Dinilai Disukai oleh Perusahaan Asing
Senada dengan Tadjudin, Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza, mengungkapkan bahwa tenaga kerja Indonesia sangat diminati di luar negeri karena dinilai pekerja keras, patuh, dan tidak banyak menuntut. Ivan bahkan mencontohkan bagaimana dirinya bertemu sejumlah WNI lulusan D3 yang awalnya belajar pengelasan, namun kini bekerja sebagai koki di restoran Jepang hanya dengan mengikuti sertifikasi tambahan dan pelatihan memasak.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di pasar kerja global, yang dibutuhkan bukan gelar, tetapi keterampilan. Banyak negara tidak terlalu mempertimbangkan latar belakang pendidikan asalkan tenaga kerja tersebut memiliki keahlian dan bisa beradaptasi dengan budaya kerja setempat.
“Karakter pekerja Indonesia yang ulet, tidak neko-neko, dan mudah diarahkan menjadi nilai tambah tersendiri di mata perusahaan asing,” ujar Ivan.
4. Perluas Sertifikasi dan Kemampuan Bahasa untuk Siap Bersaing Global
Agar tenaga kerja Indonesia bisa semakin bersaing di pasar internasional, Ivan menyarankan agar pencari kerja mengambil sertifikasi keahlian yang diakui secara internasional, serta menguasai bahasa asing, terutama bahasa negara tujuan kerja seperti Inggris, Jepang, atau Mandarin.
Contohnya, pekerja dari Solo yang memiliki latar belakang D3 pengelasan, tetapi berhasil bekerja sebagai koki di Jepang berkat pelatihan kuliner dan sertifikasi. Kisah ini membuktikan bahwa dengan strategi yang tepat, lulusan vokasi atau bahkan non-sarjana pun bisa sukses di luar negeri.
Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya menekan angka pengangguran, tetapi juga mengoptimalkan bonus demografi yang sedang dinikmati. Pekerja migran bukan sekadar solusi sementara, tetapi bisa menjadi bagian dari strategi pembangunan ekonomi nasional melalui remitansi dan peningkatan kualitas SDM.