5 Temuan Penting Kementerian LH Soal Aktivitas Tambang di Raja Ampat yang Picu Kekhawatiran Lingkungan

9 June 2025 08:50 WIB
foto-foto-terkait-kondisi-pertambangan-di-kabupaten-raja-ampat-papua-barat-daya-periode-26-31-mei-2025-dwi-rahmawatidetikcom-1749375681960_43.jpeg

1. Kerusakan Serius di Pulau Manuran Akibat Tambang Nikel

Kuatbaca.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan sejumlah indikasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang di Pulau Manuran, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau kecil seluas 743 hektare itu menjadi sorotan utama karena aktivitas pertambangan yang dikelola PT ASP (Anugerah Surya Pratama) dinilai merusak ekosistem pesisir. Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, menyebut terjadinya kebocoran pada settling pond atau kolam pengendapan yang mencemari air laut di sekitar bibir pantai, sehingga menimbulkan tingkat kekeruhan tinggi yang merugikan biota laut.

Masalah ini diperparah dengan tidak tersedianya dokumen persetujuan lingkungan PT ASP di Kementerian. Dokumen yang disebut-sebut diterbitkan oleh Bupati Raja Ampat sejak 2006 itu belum pernah diverifikasi oleh pemerintah pusat. KLH pun menegaskan akan meminta dokumen tersebut untuk direview ulang demi menjaga kelestarian lingkungan yang rapuh di pulau kecil tersebut.

2. Penyegelan Tambang dan Potensi Pencemaran Berulang

Selain menunjukkan kerusakan nyata, Hanif menyampaikan bahwa aktivitas tambang nikel di Pulau Manuran telah disegel oleh aparat penegak hukum. Tindakan ini menandai keseriusan pemerintah dalam merespons potensi kerusakan lingkungan yang signifikan. Aktivitas tambang yang dinilai sembrono dan kurang memperhatikan kaidah kehati-hatian menjadi sorotan utama dalam evaluasi.

Kementerian LH menilai bahwa pelaksanaan tambang di pulau kecil yang ekosistemnya sangat sensitif harus dilakukan dengan pendekatan yang sangat hati-hati. Ketidakhati-hatian seperti di Pulau Manuran berpotensi mencemari kawasan konservasi laut yang memiliki keragaman hayati tinggi dan nilai ekologis global.

3. Pulau Gag: Tambang PT GN Lebih Terkontrol, Namun Tetap Perlu Evaluasi

Di sisi lain, pemantauan KLH terhadap aktivitas tambang di Pulau Gag menunjukkan hasil yang lebih positif. Tambang nikel yang dikelola oleh PT GN—anak perusahaan BUMN Antam—dinilai telah mengikuti kaidah tata kelola lingkungan. Meski demikian, KLH tetap menyatakan perlunya pendalaman data untuk mengkaji lebih lanjut dampak sedimentasi yang bisa merusak habitat terumbu karang di sekitar pulau.

Sedimentasi dari aktivitas tambang disebut bisa menutupi permukaan koral, yang menjadi rumah bagi berbagai spesies laut penting. Oleh karena itu, Menteri LH menekankan bahwa wilayah sekitar tambang nikel harus dikelola dengan sistem monitoring ketat, karena semua pulau di Raja Ampat dikelilingi oleh terumbu karang yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem laut.

4. Bukaan Tambang di Pulau Gag Capai Hampir 188 Hektare

Luas area tambang yang dibuka oleh PT GN di Pulau Gag mencapai 187,87 hektare. Meskipun perusahaan ini termasuk salah satu dari 13 entitas yang diperbolehkan melanjutkan operasi tambang di kawasan hutan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004, Menteri LH tetap mendorong evaluasi keberlanjutan izin tersebut. Pemerintah pusat berkomitmen bahwa persetujuan lingkungan tidak hanya sekadar dokumen, tapi harus menjamin bahwa perusahaan memiliki teknologi pemulihan lingkungan yang memadai.

Persetujuan yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kemampuan pemulihan pascatambang dinilai berisiko. Oleh karena itu, dokumen lingkungan yang belum terverifikasi—seperti kasus PT ASP—harus segera diaudit agar tidak menjadi celah pelanggaran ekologi yang lebih luas.

5. Pelanggaran Izin oleh PT KSM dan Penghentian Eksplorasi PT MRP

Temuan lain yang cukup mencolok adalah aktivitas pertambangan oleh PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang melampaui batas izin kawasan hutan. KLH mencatat adanya bukaan lahan seluas 5 hektare di luar wilayah Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Ini merupakan pelanggaran langsung terhadap ketentuan izin dan menjadi bukti lemahnya pengawasan terhadap aktivitas perusahaan di wilayah sensitif seperti Raja Ampat.

Sementara itu, dua lokasi eksplorasi milik PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele juga mendapat perhatian. Meski baru pada tahap eksplorasi, Kementerian LH memutuskan untuk menghentikan sementara seluruh kegiatan di sana. Langkah ini diambil untuk mencegah potensi kerusakan lebih lanjut dan memberikan ruang bagi evaluasi menyeluruh terhadap dampak lingkungan yang mungkin terjadi.

Perlu Revisi Serius Izin Lingkungan di Wilayah Konservasi

Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan akan meninjau ulang seluruh dokumen persetujuan lingkungan untuk tambang di Raja Ampat. Wilayah ini memiliki status ekologis tinggi dan harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian. Aktivitas tambang di pulau-pulau kecil dinilai sangat berisiko karena keterbatasan ruang dan rendahnya kapasitas pemulihan lingkungan.

Temuan di lapangan menunjukkan pentingnya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan lingkungan. Evaluasi mendalam, penghentian sementara aktivitas berisiko, serta penyegelan perusahaan yang melanggar menjadi langkah tegas untuk menjaga warisan alam Raja Ampat tetap lestari bagi generasi mendatang.

Fenomena Terkini






Trending