1. Suasana Memanas dalam Rapat Komisi X DPR
Kuatbaca.com - Suasana rapat Komisi X DPR RI mendadak menjadi emosional dan menegangkan ketika anggota Fraksi PDIP, My Esti Wijayati, menangis setelah mendengar pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998. Momen itu terjadi dalam Rapat Kerja Komisi X di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (2/7/2025).
Fadli Zon, dalam kapasitasnya sebagai Menbud, menyampaikan pandangannya terkait peristiwa kelam tersebut dengan merujuk pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Ia mengaku telah membaca dokumen tersebut sejak tahun 1998 dan memiliki salinan bundel lengkapnya.
Fadli menegaskan bahwa pemerkosaan memang terjadi, tetapi ia juga mengingatkan agar publik tidak terjebak dalam narasi adu domba yang menurutnya berasal dari kekuatan asing pada masa itu. Ia mengkritik beberapa media yang dianggapnya menyebarkan informasi tidak akurat, termasuk gambar yang diduga tidak berasal dari Indonesia.
"Jangan sampai kita menelan narasi yang berpotensi memecah belah bangsa. Dokumentasi yang kuat dan akurat penting agar kita tidak salah menafsirkan sejarah," ujar Fadli dalam rapat tersebut.
2. Pernyataan yang Dinilai Tidak Sensitif
Namun, penjelasan Fadli Zon tersebut memantik respons keras dari My Esti Wijayati. Legislator perempuan ini menilai bahwa pernyataan Fadli terlalu teoritis dan kurang menunjukkan empati terhadap korban. Ia bahkan menyebut Fadli tidak memiliki kepekaan atas luka batin yang dialami oleh para penyintas peristiwa tersebut.
"Saya hadir di Jakarta saat kejadian itu. Saya tidak bisa pulang selama beberapa hari karena situasinya sangat mencekam. Mendengar penjelasan Bapak hari ini, saya sangat kecewa," kata Esti sambil menitikkan air mata.
Esti menegaskan bahwa pemerkosaan massal tahun 1998 bukan sekadar isu naratif, tetapi peristiwa nyata yang menyisakan trauma mendalam. Ia menyayangkan ketika penjelasan Fadli Zon justru berfokus pada dugaan manipulasi visual dari media luar, tanpa memperlihatkan simpati terhadap para korban.
"Penjelasan Bapak, yang seolah meragukan keabsahan peristiwa ini, justru membuka kembali luka lama bagi para penyintas," ujarnya terisak.
3. Perdebatan Soal Fakta Sejarah
Fadli Zon sendiri tetap menegaskan bahwa peristiwa pemerkosaan massal memang terjadi, namun ia juga menyoroti pentingnya akurasi dalam pendokumentasian dan pelaporan kejadian. Ia menyebut beberapa media, termasuk Far Eastern Economic Review dan majalah Tempo, pernah memuat gambar-gambar yang tidak sesuai konteks, bahkan berasal dari negara lain seperti Jepang dan Hongkong.
Ia juga menyoroti bagaimana narasi saat itu diarahkan pada tuduhan tertentu kepada militer, yang menurutnya bisa memperkeruh suasana pasca-reformasi. "Kita harus jujur dan teliti dalam membaca sejarah. Jangan sampai ada kepentingan politik atau asing yang menunggangi penderitaan korban," katanya.
Namun, pendekatan Fadli ini tetap dinilai terlalu berjarak secara emosional. Ketika Esti menekankan bahwa kejadian pemerkosaan massal benar-benar terjadi, Fadli mencoba menyela dan menyatakan bahwa ia tidak menyangkal fakta tersebut. "Saya mengakui, Bu. Saya tidak pernah membantah kejadian ini," katanya.
Meskipun demikian, nada diskusi sudah terlanjur berubah menjadi emosional dan penuh luka. My Esti tampak masih menahan tangis ketika menyampaikan bahwa pernyataan Fadli lebih menyakiti daripada menjelaskan.
4. Dorongan Dokumentasi yang Adil dan Komprehensif
Peristiwa dalam rapat tersebut memperlihatkan betapa pentingnya sensitivitas dalam membahas tragedi sejarah, terlebih ketika menyangkut kekerasan seksual dan trauma kolektif. Meskipun aspek dokumentasi memang krusial untuk keabsahan hukum dan sejarah, banyak pihak menganggap bahwa empati dan keberpihakan pada korban seharusnya menjadi prioritas utama.
Komisi X DPR bahkan telah menyerahkan tiga dokumen tambahan terkait temuan pemerkosaan massal 1998 kepada Fadli Zon. Ini dilakukan sebagai bentuk penguatan informasi dan referensi agar kementerian terkait bisa lebih adil dalam melihat persoalan sejarah bangsa.
Pihak-pihak dari koalisi masyarakat sipil juga menggelar aksi protes di lingkungan DPR, menuntut agar negara tidak melakukan "pemutihan sejarah" terhadap peristiwa kelam seperti tragedi Mei 1998. Mereka mendesak pemerintah lebih transparan dan berani mengungkap kebenaran, bukan justru menutupi dengan dalih narasi asing atau minimnya bukti visual.
Tangisan My Esti dalam rapat tersebut menjadi simbol bahwa luka sejarah belum sepenuhnya pulih, dan bahwa para penyintas serta keluarga korban masih menantikan pengakuan yang tulus dan keadilan yang nyata.