Tambang Longsor di Cirebon, 4 Izin Usaha Dicabut Secara Permanen

Kuatbaca.com- Peristiwa tanah longsor yang terjadi di kawasan Blok Tambang Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan korban jiwa, tetapi juga berdampak langsung terhadap kelanjutan operasional tambang di wilayah tersebut. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat secara tegas mengambil tindakan dengan mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) secara permanen. Tindakan tegas ini merupakan buntut dari ketidakpatuhan terhadap regulasi yang sudah berkali-kali diingatkan oleh otoritas setempat.
Salah satu IUP yang dicabut adalah milik Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Al-Azhariyah, yang sebelumnya mengelola tambang seluas 9,16 hektare dengan komoditas utama berupa tras. Izin ini dikeluarkan sejak 5 November 2020 berdasarkan keputusan Kepala DPMPTSP Provinsi Jawa Barat. Namun, akibat kelalaian dalam operasional dan tidak dipenuhinya persyaratan administratif, izin tersebut resmi dicabut melalui SK Gubernur Jawa Barat tanggal 30 Mei 2025.
1. Tambang Tidak Miliki Dokumen RKAB Sejak 2024
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, Bambang Tirtoyuliono, menyampaikan bahwa tambang di kawasan tersebut telah beroperasi tanpa dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sejak tahun 2024. Padahal, keberadaan RKAB merupakan salah satu syarat wajib dalam kegiatan pertambangan, guna memastikan kegiatan eksploitasi berlangsung sesuai standar keselamatan dan kelestarian lingkungan.
"Sejak tahun 2024, tambang ini tidak memiliki dokumen RKAB. Sudah diingatkan berkali-kali, bahkan pada 19 Maret 2025 telah diminta untuk menghentikan kegiatan. Namun tidak diindahkan, dan akhirnya terjadi bencana ini," ungkap Bambang.
Sebagai respons, Dinas ESDM langsung mencabut seluruh izin operasi produksi secara permanen pada Jumat, 30 Mei 2025. Tidak hanya milik Al-Azhariyah, tetapi juga tiga izin lainnya yang dimiliki oleh Kopontren Al Ishlah serta satu pihak lain yang tengah dalam tahap eksplorasi.
2. Verifikasi Lapangan oleh Tim Inspektur Tambang
Pascabencana, Tim Inspektur Tambang (IT) dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba), Kementerian ESDM, langsung turun ke lokasi untuk melakukan investigasi menyeluruh. Fokus utama dari verifikasi ini adalah mencari penyebab mendasar maupun penyebab langsung dari peristiwa longsor, baik dari segi teknis, lingkungan, maupun faktor manusia.
"Tim IT Ditjen Minerba hingga saat ini masih terus melakukan verifikasi lapangan untuk mengidentifikasi penyebab dasar dan penyebab langsung kecelakaan, baik dari sisi manusia, metode kerja, peralatan, material, dan lingkungan kerja," ujar Dwi Anggia, Juru Bicara Kementerian ESDM.
Penggunaan teknologi drone juga dilibatkan untuk memetakan kondisi lereng dan menilai kemungkinan terjadinya longsor susulan, yang dikhawatirkan masih mengancam keselamatan warga dan tim pencari di lapangan.
3. Ancaman Longsor Susulan, Warga Diminta Mengungsi
Dalam proses penanganan bencana ini, pemerintah meminta warga sekitar lokasi longsor untuk segera mengungsi. Hal ini disebabkan oleh potensi tinggi terjadinya longsor susulan, karena struktur tanah yang masih labil dan curah hujan yang tidak menentu. Koordinasi lintas instansi juga dilakukan untuk mempercepat evakuasi dan penanganan korban.
Tim Inspektur Tambang bekerja sama dengan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon, TNI/Polri, serta aparat pemerintah setempat untuk melakukan pendataan korban, evakuasi, dan pemulihan kondisi wilayah terdampak.
4. Evaluasi Menyeluruh Sektor Tambang Jadi Tuntutan Mendesak
Tragedi longsor di Cirebon membuka mata banyak pihak mengenai lemahnya pengawasan dan rendahnya kepatuhan sebagian pengelola tambang terhadap aturan yang berlaku. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menegaskan bahwa tindakan tegas seperti pencabutan izin ini akan terus dilakukan terhadap pelaku usaha yang tidak mematuhi regulasi dan mengabaikan keselamatan kerja.
Di saat yang sama, Kementerian ESDM membuka opsi untuk melakukan evaluasi total terhadap seluruh izin pertambangan di kawasan rawan bencana. Tujuannya adalah untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali, serta memastikan bahwa industri pertambangan berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.