Taksi Terbang Semakin Nyata di Indonesia, Tapi Ini Deretan Tantangan yang Harus Diatasi

27 June 2025 16:04 WIB
uji-terbang-berpenumpang-ehang-216-s-1750852918336_169.jpeg

Kuatbaca.com - Teknologi taksi terbang berbasis listrik seperti EHang 216 S kini bukan lagi sebatas imajinasi futuristik. Di Indonesia, kendaraan udara tanpa pilot ini bahkan sudah berhasil membawa manusia untuk pertama kalinya. Meski begitu, untuk benar-benar dioperasikan secara komersial sebagai moda transportasi umum, masih ada berbagai tantangan besar yang harus diselesaikan.

1. Teknologi Melaju Cepat, Regulasi Masih Tertinggal

Salah satu tantangan utama dalam penerapan taksi terbang di Indonesia adalah soal regulasi. Hingga saat ini, belum ada aturan resmi dari pemerintah yang secara khusus mengatur tentang pengoperasian kendaraan udara elektrik tanpa awak atau eVTOL (electric Vertical Take-Off and Landing). Hal ini disampaikan oleh Rudy Salim, Executive Chairman dari Prestige Aviation.

Menurut Rudy, kondisi ini mirip seperti ketika taksi online pertama kali hadir di Indonesia teknologinya sudah tersedia, tapi payung hukum untuk mengatur operasionalnya belum ada. Maka dari itu, saat ini pihaknya hanya bisa melakukan uji coba, bukan operasional komersial.

2. Status Uji Coba Masih Berlaku, Belum Komersial

Meskipun EHang 216 S telah mendapatkan izin terbang uji coba dari otoritas Indonesia, statusnya belum mengizinkan untuk digunakan sebagai transportasi komersial. Kendaraan ini memang telah memiliki Type Certificate dari Civil Aviation Administration of China (CAAC), yang menyatakan bahwa desain dan sistemnya memenuhi standar keselamatan penerbangan.

Namun, agar bisa benar-benar digunakan di Indonesia, perlu ada proses validasi ulang dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DGCA). Menurut Rudy, semoga dalam waktu satu tahun ke depan, izin komersial bisa mulai diberikan agar taksi terbang ini dapat melayani publik secara luas.

3. Infrastruktur Belum Mendukung, Ekosistem Masih Dibangun

Selain soal regulasi, masalah infrastruktur menjadi tantangan besar lainnya. Untuk bisa mengoperasikan taksi terbang secara luas, diperlukan ekosistem yang lengkap. Mulai dari landing pad, charging station, hingga lokasi penggantian baterai harus disediakan di berbagai titik kota.

Prestige Aviation mengungkapkan rencana untuk mengembangkan infrastruktur ini secara bertahap. Mereka berharap dapat membangun titik-titik pendaratan dan pengisian daya di lokasi-lokasi strategis di kota besar seperti Jakarta atau kawasan wisata seperti Bali, demi mendukung operasional taksi udara di masa depan.

4. Sertifikasi, Jalur Udara, dan Zona Aman Harus Diperjelas

Menurut Sokhib Al Rokhman, Direktur Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU), pihaknya tengah mengevaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Aturan ini sudah berlaku selama 15 tahun dan dinilai perlu diperbaharui agar bisa mengakomodasi teknologi baru seperti eVTOL.

Aspek seperti standar keselamatan, sertifikasi penerbangan, jalur udara, hingga zona take-off dan landing harus dibahas lebih dalam dan dituangkan dalam regulasi resmi. Tanpa regulasi yang jelas, izin operasional tentu akan sulit diberikan, meskipun teknologinya sudah siap.

5. Optimisme Tetap Tinggi, Masa Depan Transportasi Udara Cerah

Meski tantangannya tidak sedikit, optimism tetap tinggi. Keberhasilan EHang 216 S membawa manusia terbang di Indonesia menjadi simbol bahwa negara ini tidak ingin tertinggal dalam revolusi transportasi udara. Selain bisa menjadi solusi kemacetan, taksi terbang juga membuka peluang besar dalam industri pariwisata, logistik cepat, dan layanan darurat di masa depan.

Dengan regulasi yang adaptif dan dukungan infrastruktur yang mumpuni, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pelopor penggunaan taksi udara di kawasan Asia Tenggara.

Fenomena Terkini






Trending