Skandal Korupsi di OKU: 9 Proyek Jadi Bancakan, DPRD dan Kadis PUPR Terjerat

1. KPK Ungkap Skema Korupsi DPRD dan Kadis PUPR OKU
Kuatbaca.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah. Kali ini, tiga anggota DPRD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) OKU ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap dan pemotongan anggaran proyek infrastruktur.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, mengungkapkan bahwa kasus ini bermula dari permintaan jatah pokok pikiran (pokir) oleh anggota DPRD OKU dalam pembahasan anggaran. Permintaan tersebut kemudian dikonversi menjadi proyek fisik yang dikelola oleh Dinas PUPR OKU.
"Pada pembahasan tersebut, perwakilan dari DPRD meminta jatah pokir, seperti yang diduga sudah dilakukan sebelumnya. Kemudian disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas PUPR," ujar Setyo dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (16/3/2025).
2. Sembilan Proyek Jadi Ladang Korupsi
Dalam praktiknya, Kadis PUPR OKU, Nopriansyah, menawarkan sembilan proyek kepada pihak swasta dengan kesepakatan commitment fee sebesar 22 persen. Dari total fee tersebut, 20 persen diberikan kepada anggota DPRD OKU, sedangkan 2 persen menjadi bagian Dinas PUPR.
Berikut adalah daftar sembilan proyek yang dikorupsi dalam skema ini:
- Rehabilitasi rumah dinas bupati – Rp 8,3 miliar
- Rehabilitasi rumah dinas wakil bupati – Rp 2,4 miliar
- Pembangunan Kantor Dinas PUPR Kabupaten OKU – Rp 9,8 miliar
- Pembangunan jembatan Desa Guna Makmur – Rp 983 juta
- Peningkatan jalan poros Desa Tanjung Manggus-Desa Bandar Agung – Rp 4,9 miliar
- Peningkatan jalan Desa Panai Makmur-Guna Makmur – Rp 4,9 miliar
- Peningkatan jalan unit 16 Kedaton Timur – Rp 4,9 miliar
- Peningkatan jalan lainnya – Rp 4,8 miliar
- Peningkatan jalan Desa Makarti Tama – Rp 3,9 miliar
Dalam kasus ini, proyek-proyek yang seharusnya meningkatkan infrastruktur daerah justru dijadikan bancakan oleh para pejabat untuk kepentingan pribadi.
3. Enam Tersangka dalam Skandal Korupsi
Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, KPK menetapkan enam orang tersangka dalam kasus ini. Mereka berasal dari berbagai unsur, mulai dari anggota DPRD, Kepala Dinas PUPR, hingga pihak swasta.
Berikut nama-nama tersangka yang terlibat:
- Ferlan Juliansyah (FJ) – Anggota Komisi III DPRD OKU
- M Fahrudin (MFR) – Ketua Komisi III DPRD OKU
- Umi Hartati (UH) – Ketua Komisi II DPRD OKU
- Nopriansyah (NOP) – Kepala Dinas PUPR OKU
- M Fauzi alias Pablo (MFZ) – Pihak swasta
- Ahmad Sugeng Santoso (ASS) – Pihak swasta
Para tersangka diduga memiliki peran berbeda dalam skema ini. Anggota DPRD OKU bertindak sebagai penerima suap, sementara Kadis PUPR mengatur alokasi proyek dan commitment fee. Sementara itu, dua tersangka dari pihak swasta berperan sebagai pemberi suap.
4. Jerat Hukum untuk Para Pelaku
Dalam kasus ini, keempat tersangka dari DPRD dan Dinas PUPR dijerat dengan Pasal 12a, 12b, 12f, dan 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang suap, pemotongan anggaran, dan gratifikasi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Sementara itu, dua tersangka dari pihak swasta, M Fauzi dan Ahmad Sugeng Santoso, dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang mengatur hukuman bagi pemberi suap, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
5. Dampak Kasus Korupsi terhadap Pembangunan Daerah
Kasus korupsi ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah, khususnya dalam pengelolaan anggaran infrastruktur. Dengan nilai proyek mencapai miliaran rupiah, seharusnya masyarakat OKU bisa menikmati jalan yang lebih baik, jembatan yang lebih kuat, dan fasilitas pemerintahan yang memadai.
Namun, akibat praktik korupsi ini, kualitas proyek-proyek tersebut kemungkinan besar tidak akan sesuai standar, karena sebagian besar anggaran dialihkan untuk kepentingan pribadi pejabat terkait.
Kasus ini juga menggambarkan lemahnya pengawasan di tingkat daerah, di mana DPRD yang seharusnya menjadi lembaga pengawas justru ikut terlibat dalam praktik korupsi. Hal ini menjadi sinyal bagi pemerintah pusat untuk memperketat mekanisme audit dan transparansi dalam penggunaan anggaran daerah.
6. KPK Tegaskan Komitmen dalam Pemberantasan Korupsi
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan penindakan terhadap praktik korupsi di daerah. Ia juga mengingatkan kepada seluruh kepala daerah dan anggota DPRD untuk tidak menjadikan anggaran proyek sebagai ladang korupsi.
"Kasus ini menjadi bukti bahwa KPK tetap berkomitmen untuk menindak siapa pun yang terlibat dalam praktik korupsi, termasuk anggota DPRD dan pejabat daerah. Kami berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah lainnya untuk lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan anggaran," pungkas Setyo.
7. Perlunya Reformasi Pengelolaan Anggaran Daerah
Kasus suap dan pemotongan anggaran yang melibatkan DPRD dan Kadis PUPR OKU menegaskan bahwa korupsi di sektor infrastruktur masih menjadi masalah serius di Indonesia. Kejahatan ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menghambat pembangunan yang seharusnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Sebagai solusi, diperlukan penguatan sistem pengawasan dan transparansi anggaran di tingkat daerah. Selain itu, masyarakat juga harus lebih aktif dalam mengawasi penggunaan dana publik, agar kasus serupa tidak terus berulang di masa depan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi pejabat daerah lainnya bahwa praktik korupsi tidak akan ditoleransi, dan setiap pelanggaran hukum akan ditindak tegas oleh KPK demi menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan.