Tb. Adi Satria Prakasa
Praktisi dan Pemerhati Sektor Kesehatan, Alumnus Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Tidak ada perekonomian maupun ekonom yang tidak bicara tentang kesejahteraan. Di mana tempat, di mana negara, di masa kapanpun, kesejahteraan menjadi perbincangan utama seperti layaknya nasi menjadi makanan pokok.
Dalam keseharian kita, dewasa ini kesejahteraan telah jauh melampaui nasi dan bahan pokok yang sembilan, pun yang berbentuk tunai. Kesejahteraan telah menjadi sistem, dan di depannya lazim terdapat kata jaminan. Di dalamnya juga sarat berbagai hal, ada pekerjaan, hari tua, pendidikan, dan yang paling sering diperbincangkan, kesehatan.
Sayangnya, berita tentang apapun termasuk jaminan kesehatan umumnya baru ramai ketika isinya bukanlah hal yang baik-baik saja. Misalnya, masyarakat lebih banyak menyimak berita baru-baru ini tentang pencairan polis tanpa hak oleh oknum asuransi kesehatan tertentu. Meskipun mungkin tidak terlalu menjadi sorotan publik, sebetulnya belum lama ini pemerintah juga tengah membenahi sistem jaminan kesehatan.
Patut disyukuri pemerintah tengah mengambil langkah antisipatif untuk membenahi ekosistem jaminan kesehatan secara terpadu. Sebagaimana disinggung sejenak dalam paragraf awal di atas, penjuru jaminan kesehatan ini pun lebih condong kepada sisi ekonomi di bawah sektor asuransi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menggodok Surat Edaran (SE) teranyar tentang industri asuransi.
Dalam SEOJK tersebut, selain teknis usaha asiransi di antaranya akan diatur pula mengenai pembentukan Dewan Penasihat Medis atau Medical Advisory Board hingga masalah koodinasi antara penyelenggara jaminan dengan BPJS Kesehatan. Namun demikian, artikel ini bukan dimaksudkan untuk membahas detil perasuransian kesehatannya. Niat dasarnya lebih kepada ulasan posisi kesejahteraan dalam ekosistem perekonomian dan wacana keilmuan ekonomi menurut perspektif jaminan kesehatan.
Dalam wujud formulasinya, demikian pula tampilan visualnya, grafik kesejahteraan punya kelebihan bidang ketimbang kalkulasi keuntungan semata. Lebih dari sekedar selisih antara penerimaan dikurangi biaya, kesejahteraan juga punya selisih yang menjadi surplus bagi konsumen jika disandingkan dengan keuntungan. Selisih ini sebagian besar normatif, atau bolehlah dikatakan sebagian besar berisi norma.
Dalam ilmu ekonomi, kehadiran norma selayaknya menjadi variabel utama terlebih jikalau berbicara ekonomi pembangunan bukan keilmuan ekonomi semata. Norma-norma inilah yang menjadi penyusun kesejahteraan atau dalam bahasa Inggrisnya disebut sebagai welfare.
Namun demikian, banyak ekonom hari ini menjadikan ekonomi yang bicara tentang kesejahteraan seakan menjadi cabang eksklusif dari ekonomi a.k.a. welfare economics. Memang telah lama berlaku bagi negara yang menerapkannya mendapat sebutan sebagai welfare state. Padahal, sekali lagi tidak ada ekonomi yang tidak bicara welfare.
Salah satu sektor implementasi yang paling umum sekaligus paling wajib dari welfare ini adalah dalam bidang kesehatan atau yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai Healthcare. Beda negara, beda pula penerapan healthcare bagi rakyatnya.
Jika ditelaah detilnya lebih lanjut, barulah terlihat bahwa bagaimana healthcare ini diwujudkan akan terbagi-bagi lagi menjadi aneka mazhab ekonomi masing-masing negara. Jadi, sebetulnya tidak ada mazhab yang tdk bicara welfare, tidak bicara healthcare, hanya saja caranya berbeda-beda. Umumnya welfare state ini diidentikkan dengan mereka yang memegang healthcare erat-erat sebagai kewajiban sekaligus hak negara.
Ada pula negara yang membagi peran kesejahteraannya dengan swasta. Salah satu yang paling terkenal adalah di Amerika Serikat, khususnya di jaman Presiden Obama dengan medicare-nya, yang sampai disebut kampiun welfare state seluruh dunia.
Menarik untuk dicermati bahwa medicare sebagai salah satu kampiun program welfare itu ternyata dalam praktiknya dilepaskan ke mekanisme pasar. Jadi tidak seperti welfare state yang konon menggenggam kesejahteraan rakyat sebagai hak negara. Sebanyak mungkin pelaku asuransi kesehatan yang mau dan mampu dipersilakan untuk berpartisipasi.
Jika diteropong lagi lebih detil, hidup matinya asuransi itu tergantung kepada detil sektor kesehatan yang sangatlah luas. Dimana sektor kesehatan bukan hanya rumah sakit dengan pabrik obat sebagai produsen, dan pasien sebagai konsumen utamanya.
Di belakang pasien terdapat pola hidup, yang tak lepas dari begitu banyak hal. Misalkan saja transportasi dengan emisi gas buangnya yang masih jauh dari minim. Diikuti rumah dan pemukiman yang sekarang juga semakin jauh dari tempat-tempat bekerja.
Juga industri kuliner dengan kadar garam dan gula yang mengisi sela-sela aktifitas mereka yang berangkat kerja dari rumah. Ataupun mereka yang bisa bekerja di rumah dan karenanya kurang terpapar sinar matahari, dan juga lebih minim beraktifitas secara fisik?
Bahkan di belakang dokter dan ahli farmasi terdapat kampus-kampus pendidikan kesehatan sebagai pemasoknya. Jika ini semua diteropong sebagai masalah positif semata melalui ilmu ekonomi an sich, maka semuanya akan tampak sebagai Cost of Goods Sold (COGS) saja.
Bayangkan ketika biaya pendidikan dokter, riset farmasi, semuanya ditumpuk sebagai biaya kesehatan masyarakat? Yang pada akhirnya harus dikonfrontir dengan potensi pemasukan pendapatan industri kesehatan agar bisa diduga margin pengembaliannya?
Di mata industri asuransi, sebagai ujung tombak helathcare dan welfare, hal di atas bukanlah sudut pandang yang tidak lazim. Di industri apapun, cashflow is really the king. Namun demikian, perlulah kiranya kita melihat kembali secara lebih komprehensif seperti pembenahan ekosistem jaminan kesehatan yang sedang diupayakan saat ini.
Jika sudut pandang kita menjadi sangat finansial, maka kesehatan akan tampil sebagai detil tagihan berbalas layanan. Pemaknaan welfare pun akan kehilangan wajahnya karena ia hanya selisih sebuah bidang yang disebut surplus bagi konsumen di atas keuntungan.
Oleh karena itu, pemaknaan yang lebih sahih haruslah kembali kepada norma-norma penyusun kesejahteraan itu sendiri yaitu terlebih dahulu berfokus pada manusia dan kemanusiaannya.
Mari perhatikan kembali satu contoh kecil dari luar layanan kesehatan. Bukan dari industri kuliner, bukan dari industri pendidikan, reparasi kendaraan di bengkel sekalipun, yang meski nyata-nyata mekanistik tidak melupakan aspek estetik, ergonomik, dan tentunya etik.
Sememangnya, kesadaran akan posisi manusia yang sarat dengan norma-norma, sebetulnya pasti dijumpai di bidang apapun. Yang paling mudah di antara adalah melalui "senyum". Keramahan kini semakin menjadi strategi diferensiasi bagi semua industri layanan, termasuk bengkel, dan terlebih lagi industri kesehatan.
Dalam perspektif ekonomi positifistik sekalipun, pasien juga dokter, dosen juga mahasiswa, mekanik juga pengendara, semuanya adalah konsumen yang berhak memilih nilai tambah tertinggi termasuk nyamannya senyuman bagi cost yang mereka keluarkan.
Padahal sebelum menjadi nilai tambah, senyum itu lebih merupakan fitrah, dan sedekah, yang seharusnya tak begitu susah. Maka, sebelum pariwisata dan atau horeca, apalagi perbengkelan, bukankah rumah sakit lebih berhak diberi judul hospitality industry?
Demikianlah, ketika ekonomi kembali membuka ruang sinergi bagi kekayaan norma, maka ekonomi pun kembali menjadi alat pembangunan yang luas. Ekonomi pembangunan, bukan semata pembangunan ekonomi, bukanlah pula sebuah cabang keilmuan atau diskursus semata.
Sebagaimana jaminan kesehatan menjadi alat bagi kesejahteraan, ekonomi bagi pembangunan akan menjadi anti tesis dari reduksi pembangunan untuk ekonomi semata. Di dalamnya, segenap permasalahan, yang positif, yang normatif, bersinergi menuju kesejahteraan dan keutuhan manusia.
Maka patutlah kiranya kita apresiasi langkah yang tengah bergulir di OJK untuk pembenahan ekosistem jaminan kesehatan. Di belakang kata ekosistem tersirat keutuhan aspek yang akan diperbaiki secara terpadu, bukan hanya aspek finansialnya semata. Inilah kiranya yang mebuat SEOJK tersebut tidak kunjung dirilis meski telah melampau target awal pada kuartal-I 2025. demi mempertimbangkan pembahasan yang begitu luas dan melibatkan banyak stakeholder, maka akhirnya penerbitan harus ditunda kemungkinan hingga Mei 2025. Semoga. Semangat!