Seruan Tanah Melayu: Puisi Luka Alam dan Harapan akan Jenderal Bermarwah

Kuatbaca.com - Sebuah lantunan puisi yang menggetarkan jiwa menggema dari Rumah Singgah Tuan Kadi, Pekanbaru, Riau. Judulnya "Tanah Melayu Mengadu", namun isinya jauh lebih dari sekadar bait-bait sastra. Ia adalah jeritan yang menggema dari rimba yang terluka, sungai yang merintih, dan harimau yang kehilangan rumah. Puisi ini disuarakan oleh Ramon dalam Festival Budaya Melayu pada Sabtu, 21 Juni 2025, sebagai bentuk seruan lingkungan yang mengajak siapa pun, terutama seorang jenderal, untuk menjaga dan melindungi marwah Tanah Melayu.
Festival tersebut bukan sekadar pertunjukan budaya, tetapi wadah aspirasi dari masyarakat Riau, yang kian resah menyaksikan habitat alami hancur oleh tangan manusia. Dalam puisi itu, Riau digambarkan sebagai syair yang hidup di antara daun dan angin. Namun kini, semua itu berubah: pohon-pohon sialang yang menyimpan madu dan mantra ibu tergantikan oleh konsesi industri.
Dalam baitnya, sang penyair membawa kita menyelami penderitaan sungai yang dahulu menjadi cermin langit, namun kini tercemar dan malu mengalir. Dari hulu Kampar hingga pesisir Dumai, perubahan drastis akibat deforestasi dan abrasi menjadi simbol nyata betapa lingkungan Riau sedang memanggil-manggil perhatian.
1. Jeritan dari Rimba: Ketika Harimau Menjadi Simbol Luka
Puisi tersebut menggambarkan hewan-hewan yang kini tak lagi bersuara, bukan karena mereka bisu, melainkan karena habitat mereka telah hilang. Di antara konsesi dan laporan korporasi, harimau digambarkan berjalan pelan, menatap manusia dengan kesedihan yang tak bisa diterjemahkan kata. Mereka kini tinggal angka dalam katalog konservasi.
“Ia menatap kita dengan nada sembilu yang dipinjamkan Tuhan,” tulis Ramon dalam salah satu bagian puisi tersebut.
Kondisi ini makin diperparah dengan kenyataan bahwa kawasan konservasi seperti Tesso Nilo tak luput dari pembalakan liar dan pengelolaan tanpa izin. Kebakaran lahan menjadi rutinitas tahunan, sementara ekosistem yang dulu kaya semakin terancam punah. Sungai yang dulu memberi kehidupan kini menjadi saksi bisu dari kehancuran yang terus terjadi.
Dalam klimaks puisinya, Ramon tak sekadar mengutuk. Ia mengadu. Ia menyerukan agar seorang jenderal simbol kekuasaan, ketegasan, dan cinta tanah air turun tangan. “Tanah Melayu hanya butuh satu jiwa yang telah mengucap: Lindungi Tuah, Jaga Marwah,” ujarnya dalam bait penutup yang menggugah hati.
2. Festival Budaya Jadi Panggung Aspirasi dan Kesadaran Lingkungan
Festival Budaya Melayu di Pekanbaru kini menjadi ruang pengikat nilai budaya, lingkungan, dan spiritualitas masyarakat Riau. Diinisiasi oleh Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, agenda ini rutin digelar setiap malam Minggu di Rumah Singgah Tuan Kadi. Tujuannya tidak hanya melestarikan warisan Melayu, tetapi juga membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga bumi.
Dalam gelaran ini, seni dipadukan dengan pesan moral dan panggilan aksi. Lewat puisi, musik, dan cerita rakyat, masyarakat kembali diingatkan akan jati diri mereka sebagai penjaga alam, bukan perusak. Budaya menjadi alat perjuangan, bukan sekadar tontonan.
Salah satu yang menonjol dalam festival ini adalah keberanian para seniman dan budayawan untuk menyampaikan pesan-pesan kritis secara elegan. Ramon, sebagai pembaca puisi “Tanah Melayu Mengadu,” menyuarakan penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat pedalaman dan satwa liar yang kini terdesak ruang hidupnya.
Kegiatan ini pun mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Riau. Banyak yang berharap suara yang bergema dari Rumah Singgah Tuan Kadi ini dapat menembus dinding kekuasaan dan menginspirasi kebijakan yang lebih ramah lingkungan.
3. Ketika Alam Tak Lagi Bicara, Manusia Harus Menjadi Suaranya
Puisi Ramon menjadi pengingat bahwa terkadang, alam sudah tak mampu lagi bersuara. Sungai, hutan, hewan liar semuanya perlahan bisu. Maka, manusia, sebagai bagian dari alam, harus menjadi penyambung lidah mereka. Melalui puisi, pesan tersampaikan dengan cara yang menyentuh dan membekas.
Bait-bait yang dibacakan tidak hanya menyuarakan penderitaan, tetapi juga membangkitkan harapan, terutama terhadap pemimpin yang berani melindungi warisan alam. Sosok jenderal yang disebutkan dalam puisi bukan sekadar jabatan militer, tapi perlambang ketegasan, ketulusan, dan keberpihakan pada bumi yang terluka.
“Langit sudah berkarat di atas Pulau Rupat dan bumi di bawah Tesso Nilo mengadu dalam bahasa yang hanya bisa dipahami api,” tulis bait tersebut. Kalimat itu menyiratkan bahwa jika tidak segera ada tindakan, kehancuran akan datang tak bisa dicegah.
Dalam konteks ini, puisi menjadi alat perjuangan, dan panggung budaya menjadi medan perlawanan terhadap ketidakpedulian. Dari akar-akar sialang hingga gelombang Bono yang tak lagi menari, semua menyatu dalam satu suara yang menyerukan perlindungan atas marwah Tanah Melayu.