Saat Jakarta Melegalkan Judi: Sejarah Kelam yang Pernah Dianggap Solusi

30 May 2025 12:24 WIB
742e6939-e600-4ba6-9eec-64c35b5a20d7_169.jpg

Kuatbaca.com - Pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin antara tahun 1966 hingga 1977, Jakarta pernah mengalami sebuah fase kebijakan yang sangat tidak lazim: legalisasi perjudian. Kebijakan ini muncul bukan tanpa alasan. Saat itu, kondisi keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada di titik nadir. Dengan anggaran belanja yang minim—hanya sekitar Rp 66 juta dan sebagian besar terserap oleh belanja rutin—Ali Sadikin mencari cara yang berani dan cepat untuk mengisi kas daerah. Salah satu langkah taktis dan paling kontroversial adalah melegalkan perjudian secara resmi di wilayah Jakarta.

Legalitas perjudian pada masa itu bukan hanya dilakukan sembarangan. Pemerintah DKI memungut retribusi dari aktivitas judi untuk dijadikan sumber pendapatan daerah. Langkah ini menimbulkan pro dan kontra, tetapi Ali Sadikin menyatakan bahwa kebijakan ini ditempuh dalam kondisi darurat. Ia menilai bahwa manfaat ekonomi yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dampak negatifnya jika dikendalikan secara ketat.

1. Lokalisasi Perjudian dengan Pengawasan Ketat

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Ali Sadikin sangat serius dalam mengelola industri perjudian yang dilegalkan ini. Tidak semua orang bisa bebas masuk ke dalam kawasan perjudian seperti kasino. Pemprov bahkan menerbitkan Surat Keputusan Gubernur No. 805/A/k/BKD/1967 untuk membentuk tim pengawas. Tim ini bertugas memastikan hanya kalangan tertentu saja yang boleh mengakses area perjudian. Anak di bawah umur, warga berpenghasilan rendah, serta masyarakat umum yang tidak memiliki tujuan jelas, dilarang masuk.

Tim pengawas juga diberi tanggung jawab besar untuk mencegah penyalahgunaan izin operasional tempat judi. Pengawasan ini mencakup pencegahan terhadap praktik asusila, penyelewengan aturan, hingga pengaruh negatif terhadap lingkungan sekitar. Tujuannya adalah menjaga agar aktivitas judi tetap tertutup, terkendali, dan tidak mencemari ruang publik.

2. Penempatan Strategis: Jauh dari Permukiman dan Lembaga Pendidikan

Dalam pelaksanaannya, tempat-tempat judi tidak boleh berada di dekat sekolah, tempat ibadah, atau permukiman padat. Hal ini dituangkan dalam Instruksi Bersama Nomor 9 Tahun 1971, yang melibatkan berbagai kementerian terkait, termasuk Kementerian Sosial dan Kementerian Perhubungan. Kasino populer di masa itu misalnya terletak di lantai 13 Gedung Sarinah, yang jelas bukan lokasi sembarangan. Lokasi ini dinilai tertutup, tidak mencolok, dan tidak mudah diakses masyarakat umum.

Beberapa lokasi perjudian lain yang diresmikan antara lain Casino Petak IX, Casino Copacabana, dan stand permainan di Jakarta Fair. Selain itu, jenis perjudian lainnya seperti pacuan kuda dan Toto Hai Lai di kawasan Ancol juga mendapat izin operasional. Semua tempat ini dikelola dengan pendekatan lokalisasi dan pengendalian sosial yang ketat.

3. Hasil Pajak Judi Untuk Pembangunan Kota

Pendapatan dari pajak perjudian ternyata membawa dampak nyata bagi pembangunan Jakarta. Salah satu program unggulan Ali Sadikin yang berjalan berkat suntikan dana ini adalah Pola Rehabilitasi Tiga Tahun (1967–1969). Program ini fokus pada pengembangan kota secara menyeluruh, mencakup sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga kebudayaan. Salah satu hasil besarnya adalah perbaikan infrastruktur kampung melalui Proyek Mohammad Husni Thamrin, yang memperbaiki permukiman kumuh yang kala itu dihuni oleh lebih dari 60% warga Jakarta.

Tak hanya itu, pembangunan sekolah dan fasilitas kesehatan juga meningkat pesat. Balai Pengobatan diubah menjadi Puskesmas, rumah sakit diperluas, dan berbagai penyakit menular mulai diberantas dengan gencar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun legalisasi judi dianggap kontroversial, namun hasil akhirnya memberikan sumbangsih besar terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat Jakarta.

4. Warisan Budaya: Lahirnya Taman Ismail Marzuki

Salah satu aspek yang sering dilupakan dari masa kepemimpinan Ali Sadikin adalah perhatiannya terhadap dunia seni dan budaya. Dari hasil pendapatan daerah, ia membangun pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki (TIM), yang kemudian menjadi simbol kemajuan seni di ibu kota. Selain itu, ia juga membentuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kini menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Pusat-pusat ini menjadi wadah berkembangnya para seniman muda dan menjaga agar warisan budaya tetap hidup. Strategi Ali Sadikin memperlihatkan bahwa pemanfaatan dana, meskipun dari sumber kontroversial, bisa berbuah pada pembangunan yang menyentuh banyak aspek kehidupan masyarakat.

Fenomena Terkini






Trending