1. Akademisi Ingatkan Perlindungan HAM dalam Pemeriksaan Hukum
Kuatbaca.com - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali mengemuka dengan masukan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi. Salah satu usulan penting disampaikan oleh Ahmad Redi, akademisi dari Universitas Borobudur, yang menyoroti pentingnya hak tersangka untuk didampingi advokat sejak awal proses pemeriksaan hukum.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, yang digelar di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (18/6/2025), Ahmad menegaskan bahwa banyak warga negara yang tidak memahami proses hukum saat dipanggil penyelidik atau penyidik, sehingga berpotensi menjadi korban penyalahgunaan kewenangan.
"Warga negara yang dipanggil untuk klarifikasi atau pemeriksaan harus didampingi oleh advokat. Ini penting agar hak-hak mereka terlindungi," ujarnya di hadapan para anggota dewan.
Menurut Ahmad, pendampingan hukum seharusnya tidak hanya berlaku setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, tetapi juga saat baru dipanggil untuk kepentingan penyelidikan. Hal ini penting dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM).
2. Usul Hak Menolak Beri Keterangan Tanpa Advokat
Ahmad juga menyampaikan satu poin penting dalam usulannya, yakni hak bagi tersangka untuk menolak memberikan keterangan jika belum mendapat pendampingan hukum. Menurutnya, hak tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap tersangka agar tidak memberikan pernyataan yang bisa memberatkan dirinya secara tidak sadar.
“Banyak tersangka tidak paham bahwa apa yang mereka sampaikan bisa menjadi bumerang jika tidak ada pendampingan dari ahli hukum,” jelasnya.
Ia menambahkan, hak imunitas bagi advokat juga seharusnya dikuatkan dalam revisi RUU KUHAP agar advokat dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan atau ancaman kriminalisasi dari aparat penegak hukum.
Usulan ini dinilai relevan dengan prinsip due process of law, yaitu proses hukum yang adil, transparan, dan menjamin keadilan bagi semua pihak, termasuk tersangka. Hal ini sejalan dengan prinsip konstitusional yang menjamin setiap orang berhak atas bantuan hukum.
Selain itu, Ahmad Redi juga menyoroti perlunya edukasi publik mengenai hak-hak dasar dalam proses hukum agar tidak terjadi ketimpangan informasi antara penyidik dan masyarakat awam.
3. Dorongan Digitalisasi Sistem Penanganan Pidana
Tak hanya soal pendampingan hukum, Ahmad Redi juga menyoroti perlunya digitalisasi sistem dalam penanganan perkara pidana. Menurutnya, pemanfaatan teknologi informasi (TI) harus dijadikan tulang punggung sistem peradilan pidana yang modern dan terintegrasi.
“Usulan kami adalah sistem penanganan perkara pidana mulai dari penyelidikan, penuntutan, hingga eksekusi harus berbasis teknologi informasi,” tegasnya.
Sistem digital yang dimaksud mencakup SPPT-TI atau Sistem Penanganan Perkara Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi. Dengan adanya sistem ini, diharapkan proses hukum bisa lebih efisien, transparan, dan bebas dari manipulasi dokumen atau intervensi yang tidak bertanggung jawab.
Penggunaan sarana elektronik akan memperkecil ruang gerak praktik-praktik tidak profesional seperti hilangnya berkas, penghilangan barang bukti, hingga proses hukum yang berlarut-larut tanpa kejelasan.
Selain itu, digitalisasi juga akan mempermudah pengawasan masyarakat terhadap jalannya proses hukum dan memberikan akses keadilan yang lebih luas bagi semua kalangan, termasuk kelompok rentan.
4. Menanti Respons DPR dan Pemerintah
Usulan yang dibawa oleh Ahmad Redi menjadi salah satu bentuk kontribusi akademisi dalam menyempurnakan regulasi penting seperti KUHAP. Kini, semua mata tertuju pada Komisi III DPR dan pemerintah, apakah akan menyerap usulan tersebut dalam naskah akhir RUU.
RUU KUHAP merupakan regulasi krusial dalam sistem hukum Indonesia. Maka dari itu, setiap usulan yang bertujuan memperkuat perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak tersangka untuk didampingi advokat, sangat layak untuk dipertimbangkan secara serius.
Para penggiat hukum dan HAM berharap bahwa proses legislasi RUU KUHAP ini tidak hanya formalitas, melainkan menjadi momentum reformasi peradilan pidana yang benar-benar pro rakyat dan menjamin keadilan substantif.
Jika usulan ini disetujui, maka ke depan proses hukum di Indonesia tidak lagi menjadi medan yang menakutkan bagi masyarakat awam, melainkan tempat pencarian keadilan yang transparan, profesional, dan beradab.