RUU KUHAP Baru: Upaya Menyeimbangkan Kekuatan Negara dan Hak Warga

Kuatbaca - Dalam setiap negara hukum, hubungan antara negara dan warganya dalam proses penegakan hukum pidana seharusnya dijalankan secara adil dan proporsional. Namun kenyataannya, posisi negara sebagai pemegang otoritas hukum seringkali jauh lebih dominan. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim memiliki pengetahuan, kekuasaan, serta fasilitas untuk mengambil langkah-langkah koersif seperti penangkapan, penahanan, hingga pemidanaan. Sementara di sisi lain, warga negara yang menjadi tersangka kerap berada dalam posisi lemah, awam hukum, dan minim perlindungan.
Ketimpangan ini bukan hanya persoalan teori, tetapi berdampak nyata di lapangan. Kasus salah tangkap, kriminalisasi, hingga penyiksaan dalam tahanan menjadi cermin betapa rentannya posisi warga ketika berhadapan dengan aparat hukum. Dalam konteks inilah, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi sangat mendesak.
Dari Hukum Kolonial Menuju Sistem Hukum Berkeadilan
Sejak masa kolonial Belanda, sistem hukum acara pidana di Indonesia sebenarnya sudah dibentuk untuk mencegah kesewenang-wenangan negara terhadap individu. Namun, KUHAP yang berlaku saat ini belum sepenuhnya menghilangkan ketimpangan itu. Banyak pasal yang masih membuka celah bagi praktik intimidatif, kekerasan terhadap tersangka, bahkan penyiksaan yang bisa berujung pada hilangnya nyawa.
Meski hukum seharusnya menjadi pelindung hak asasi manusia, masih terlalu sering kita mendengar kasus-kasus tersangka yang dipaksa mengaku di bawah tekanan, tidak mendapat pendampingan hukum yang layak, bahkan tidak memiliki akses untuk membela diri secara setara.
RUU KUHAP: Langkah Serius Menuju Sistem yang Lebih Berimbang
Dewan Perwakilan Rakyat melalui Komisi III tengah menyusun Rancangan Undang-Undang KUHAP baru sebagai jawaban atas berbagai kelemahan tersebut. Tujuan utama revisi ini bukan mengubah kewenangan antar lembaga penegak hukum, melainkan memperkuat kedudukan warga negara dalam proses hukum pidana.
RUU KUHAP baru ini memberi perhatian khusus pada penguatan hak-hak tersangka dan peran advokat. Advokat, sebagai garda depan dalam perlindungan hak warga yang berhadapan dengan hukum, diberikan peran lebih aktif—tidak hanya mendampingi tersangka, tetapi juga bisa hadir sejak tahap awal penyidikan, bahkan saat seorang warga negara masih berstatus sebagai saksi.
Mekanisme Perlindungan: Kamera dan Keberatan Resmi
Beberapa ketentuan baru yang diusulkan dalam RUU ini di antaranya adalah kewajiban pemasangan kamera pengawas di ruang pemeriksaan, dan pemberian hak kepada advokat untuk secara resmi menyatakan keberatan ketika terjadi intimidasi atau kekerasan dalam proses pemeriksaan. Langkah-langkah ini dirancang untuk menciptakan ruang transparansi dan akuntabilitas yang selama ini minim dalam sistem hukum pidana kita.
Dengan pengawasan yang ketat dan kehadiran advokat yang aktif, diharapkan praktik kekerasan terhadap tersangka bisa ditekan secara signifikan. Proses hukum pun menjadi lebih manusiawi, sesuai dengan prinsip due process of law yang seharusnya menjadi fondasi dalam negara demokratis.
RUU KUHAP ini tidak bertujuan menggeser kewenangan antar institusi penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, atau lembaga peradilan. Komisi III menyadari bahwa masalah ketimpangan posisi warga negara dalam hukum pidana bukanlah hasil dari konflik antar lembaga, melainkan dari struktur hukum itu sendiri yang cenderung memberikan ruang lebih besar kepada negara dibanding individu.
Wewenang masing-masing institusi sudah diatur dalam undang-undang sektoral yang menaungi mereka. Jika perbaikan diperlukan dalam ranah tersebut, maka akan dibahas secara terpisah melalui revisi UU institusi masing-masing, tanpa harus membebani KUHAP sebagai instrumen teknis proses peradilan.
RUU KUHAP merupakan harapan baru untuk menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih adil dan manusiawi. Meski tidak akan pernah ada keseimbangan yang sempurna antara kekuasaan negara dan individu, paling tidak hukum dapat memberi ruang yang layak agar warga negara tidak menjadi korban dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Dengan penguatan peran advokat, transparansi proses hukum, serta perlindungan terhadap hak-hak dasar tersangka, Indonesia sedang melangkah menuju sistem hukum yang tak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga menjunjung tinggi martabat manusia. Ini adalah reformasi yang tidak hanya penting secara hukum, tetapi juga mendesak secara moral.