Rp 1,3 Triliun Uang Sitaan Kasus Korupsi Minyak Goreng Dipamerkan Kejagung, Total Kerugian Capai Rp 11,8 Triliun

1. Kejagung Pamerkan Tumpukan Uang Rp 1,3 Triliun dari Korporasi Korupsi CPO
Kuatbaca.com - Pemandangan luar biasa terjadi di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) saat konferensi pers pada Rabu (2/7/2025). Dalam momen tersebut, Kejagung memamerkan tumpukan uang tunai hasil sitaan sebesar Rp 1,3 triliun terkait kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. Gepokan uang pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu itu dibungkus dalam plastik bening dan disusun tinggi menyerupai panggung sebuah gambaran nyata betapa besar kerugian negara akibat praktik korupsi.
Uang tersebut merupakan hasil titipan dari enam korporasi yang tergabung dalam grup besar pelaku ekspor CPO. Kejagung menyebut bahwa uang ini masuk ke rekening penampungan sebagai bentuk pengembalian kerugian negara atas kejahatan korporasi yang telah dilakukan.
2. Musim Mas dan Permata Hijau Group Sumbang Porsi Terbesar
Dalam perkara ini, total ada 12 korporasi yang menjadi tersangka, yang berasal dari dua grup besar yakni Musim Mas Group dan Permata Hijau Group. Namun, baru enam di antaranya yang telah menyetorkan uang pengganti ke Kejaksaan Agung. Salah satu perusahaan terbesar yang menyetor uang tersebut adalah PT Musi Mas, bagian dari Musim Mas Group, dengan jumlah fantastis sebesar Rp 1,18 triliun.
Sementara itu, lima perusahaan lain yang tergabung dalam Permata Hijau Group turut menyetorkan dana secara kolektif dengan total sebesar Rp 186,4 miliar. Jika dijumlahkan, total dana yang masuk dari keenam perusahaan tersebut mencapai Rp 1,37 triliun. Semua dana ini akan digunakan sebagai bentuk pemulihan keuangan negara yang dirugikan akibat manipulasi dalam proses ekspor CPO.
3. Total Kerugian Negara Capai Rp 11,8 Triliun, Wilmar Group Jadi Kontributor Terbesar
Sebelumnya, Kejagung juga telah menyita uang senilai Rp 11,8 triliun dari lima korporasi lain yang berada di bawah naungan Wilmar Group. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bersama ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kerugian negara dalam kasus ini dibagi ke dalam tiga bentuk: kerugian keuangan negara langsung, keuntungan ilegal (illegal gain), serta kerugian terhadap perekonomian negara secara makro.
Lima perusahaan yang menyerahkan uang tersebut antara lain:
- PT Multimas Nabati Asahan
- PT Multinabati Sulawesi
- PT Sinar Alam Permai
- PT Wilmar Bioenergi Indonesia
- PT Wilmar Nabati Indonesia
Langkah ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab hukum dan menjadi bagian dari proses penyidikan dan penuntutan yang terus berjalan.
4. Kejagung Tegaskan Komitmen Tindak Tegas Korupsi Korporasi
Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Sutikno, menegaskan bahwa kasus ini adalah salah satu bentuk keseriusan Kejagung dalam menindak praktik korupsi korporasi skala besar. Ia menjelaskan bahwa proses hukum tidak hanya menyasar individu, tetapi juga entitas bisnis yang terbukti terlibat dalam praktik manipulatif dan merugikan negara.
Dengan ditampilkannya uang dalam jumlah besar ke publik, Kejagung ingin menunjukkan transparansi sekaligus efek jera. Ini merupakan bagian dari strategi penegakan hukum modern yang tak hanya fokus pada hukuman pidana, tetapi juga pada pemulihan kerugian negara sebagai bentuk keadilan ekonomi.
5. Sorotan Publik: Visualisasi Uang Triliunan Jadi Simbol Perlawanan terhadap Korupsi
Pameran tumpukan uang Rp 1,3 triliun menjadi sorotan tajam publik. Bukan hanya karena jumlahnya yang fantastis, tetapi juga karena ini menjadi simbol nyata dari upaya pemulihan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara serius oleh lembaga penegak hukum. Masyarakat pun berharap agar langkah ini tidak berhenti pada penyitaan, tetapi juga mengarah pada pembenahan sistem ekspor dan tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia.
Tak sedikit yang mengapresiasi upaya Kejagung yang mampu membongkar skema korupsi korporasi dengan nilai kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah. Ini menjadi preseden penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di sektor komoditas strategis nasional.
6. Evaluasi Tata Niaga CPO Jadi Tuntutan Lanjutan
Seiring dengan pengembalian dana hasil kejahatan korporasi, banyak pihak menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap regulasi dan tata kelola ekspor CPO. Proses ekspor yang sebelumnya longgar terhadap kontrol dan pengawasan diduga menjadi celah utama terjadinya praktik manipulatif yang berujung pada kerugian negara.
Pemerintah didesak untuk memperkuat sistem digitalisasi pelaporan, memperketat izin ekspor, dan memastikan bahwa kuota serta harga jual tidak dimanipulasi oleh kepentingan kelompok tertentu. Industri minyak sawit yang menjadi tulang punggung ekspor nonmigas Indonesia harus dikelola secara akuntabel dan berorientasi pada kepentingan nasional.