Respons Indonesia atas Tarif Impor Amerika Serikat: Perlukah Ada Balasan?

Kuatbaca.com-Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan sejumlah negara berkembang kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, Indonesia turut menjadi sorotan karena kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh pemerintah AS. Kebijakan tersebut membuat berbagai produk asal Indonesia dikenakan tarif masuk hingga 32%. Namun, apakah Indonesia perlu membalas dengan mengenakan tarif serupa kepada produk-produk asal Amerika?
1. Dampak Tarif Impor AS terhadap Indonesia
Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk Indonesia tentu memantik perhatian publik. Bagi sebagian kalangan, angka tersebut terkesan merugikan dan dapat melemahkan daya saing produk ekspor nasional, terutama di sektor-sektor yang selama ini menjadi andalan seperti tekstil, alas kaki, dan produk agrikultur.
Namun, bila ditelusuri lebih dalam, tarif tersebut dikenakan atas nilai impor barang, bukan harga jual akhirnya. Sebagai ilustrasi, jika sepatu Indonesia diekspor dengan harga US$20 dan dijual kembali di pasar AS seharga US$60, maka tarif 32% hanya berlaku atas harga US$20. Artinya, dampak sebenarnya terhadap harga jual di pasar AS tidak sebesar yang dibayangkan, bahkan bisa di bawah 10% dari total nilai jual.
2. Apakah Indonesia Bisa Membalas dengan Tarif Impor Serupa?
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah: apakah Indonesia memiliki ruang untuk membalas dengan kebijakan tarif serupa terhadap produk-produk asal Amerika? Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Meskipun secara teori Indonesia bisa menerapkan tarif balasan sebagai bentuk pembalasan dagang (retaliation), ada beberapa pertimbangan penting yang perlu dikaji.
Pertama, volume produk Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia dalam bentuk barang jadi tidak sebesar
volume barang China atau negara mitra dagang lainnya. Produk asal AS yang masuk lebih banyak berupa barang setengah jadi atau komponen, yang seringkali dibutuhkan untuk mendukung proses produksi dalam negeri. Kedua, nilai total produk yang terkena dampak tarif AS terhadap Indonesia diperkirakan hanya menyentuh angka Rp26 miliar. Jumlah ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan total ekspor-impor Indonesia secara keseluruhan yang mencapai triliunan rupiah.
3. Posisi Indonesia Berbeda dari China
Situasi ini jelas berbeda dengan posisi Tiongkok, yang telah lama menjadi kekuatan manufaktur global dan menyuplai sebagian besar kebutuhan ritel Amerika Serikat. Barang-barang buatan China seperti elektronik, tekstil, hingga produk rumah tangga membanjiri pasar AS dan mendominasi gerai ritel besar seperti Walmart. Dalam konteks ini, balasan tarif dari China terhadap AS menjadi langkah strategis dan berdampak besar
secara ekonomi dan politik.
Sementara itu, Indonesia masih berada dalam posisi sebagai negara berkembang dengan struktur ekspor yang belum didominasi oleh produk manufaktur bernilai tambah tinggi. Produk ekspor Indonesia ke AS lebih banyak berupa komoditas atau barang konsumsi dengan harga relatif murah. Inilah yang membuat penerapan tarif balasan tidak serta merta menjadi solusi yang efektif bagi Indonesia.
4. Strategi yang Lebih Efektif: Negosiasi dan Diplomasi Dagang
Daripada mengambil langkah konfrontatif, pemerintah Indonesia lebih memilih jalur negosiasi untuk menyelesaikan persoalan tarif ini. Langkah ini dinilai lebih bijak, mengingat hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat masih sangat penting dan saling menguntungkan. Pendekatan diplomatik juga membuka ruang untuk klarifikasi terhadap tuduhan atau data yang digunakan oleh pihak AS dalam mengambil kebijakan tarif tersebut.
Negosiasi bertujuan untuk menunjukkan bahwa tarif yang selama ini dikenakan Indonesia terhadap produk Amerika tidak setinggi yang dipersepsikan. Dengan menyajikan data dan fakta yang akurat, Indonesia berharap tarif 32% tersebut bisa ditinjau ulang atau bahkan diturunkan. Pendekatan berbasis dialog ini mencerminkan sikap profesional dan menjaga stabilitas hubungan bilateral kedua negara.
Ketika berbicara soal kebijakan tarif, penting untuk melihat konteks ekonomi dan hubungan dagang secara menyeluruh. Meski dikenai tarif tinggi oleh Amerika Serikat, Indonesia tidak serta-merta bisa atau perlu membalas dengan kebijakan serupa. Skala dampak yang relatif kecil serta posisi Indonesia dalam rantai pasok global menjadi alasan utama mengapa pendekatan diplomasi dinilai lebih rasional. Ke depan, Indonesia perlu memperkuat daya saing produk ekspor dan memperluas pasar alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat.