Protes Mahasiswa Guncang Kerja Sama Unud dan Kodam Udayana: Kekhawatiran atau Kewaspadaan?

Kuatbaca - Suasana akademik di Universitas Udayana (Unud), Bali, yang biasanya tenang dan penuh dinamika intelektual, mendadak memanas. Bukan karena perbedaan pendapat dalam diskusi kelas atau debat antar-organisasi mahasiswa, melainkan karena munculnya protes dari kalangan mahasiswa terhadap perjanjian kerja sama antara kampus mereka dan Komando Daerah Militer (Kodam) IX/Udayana.
Kerja sama yang sebelumnya diteken dengan tujuan meningkatkan sinergi dalam bidang pendidikan, kebudayaan, hingga ilmu pengetahuan dan teknologi ini kini terancam batal. Alasannya, mahasiswa merasa khawatir bahwa kehadiran TNI dalam ruang akademik bisa menjadi ancaman terhadap kebebasan berpikir dan berekspresi.
Akar Kekhawatiran Mahasiswa
Penolakan kerja sama ini tidak datang tiba-tiba. Sejak kabar tentang perjanjian itu tersebar luas, sejumlah mahasiswa mulai menyuarakan keresahan mereka. Mereka khawatir jika kehadiran militer di kampus dapat membuka ruang bagi militerisasi dalam kehidupan akademik — sebuah kondisi yang dinilai bertolak belakang dengan semangat kebebasan berpendapat yang selama ini dijunjung tinggi di lingkungan perguruan tinggi.
Badan Eksekutif Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa (BEM PM) Unud mengambil posisi tegas. Dalam pernyataan publik, mereka meminta pihak rektorat segera membatalkan kerja sama tersebut dalam waktu tujuh hari. Mereka juga menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses tersebut agar tidak sekadar menjadi janji kosong.
TNI: Ketakutan Itu Tidak Berdasar
Menanggapi riak yang muncul, pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen TNI Kristomei Sianturi, memberikan klarifikasi tegas. Menurutnya, kekhawatiran yang disuarakan mahasiswa adalah bentuk ketakutan berlebihan yang tidak disertai bukti atau kajian akademis yang memadai.
Ia menegaskan bahwa kerja sama yang dibangun dengan kampus bukanlah bentuk intervensi atau dominasi militer di lingkungan akademik, melainkan sebatas upaya kolaboratif dalam memperluas wawasan kebangsaan, bela negara, hingga geopolitik kepada mahasiswa. Ia juga menyebut bahwa keputusan untuk bekerja sama bukan inisiatif sepihak dari TNI, melainkan atas permintaan dan kesepakatan bersama dengan pihak rektorat.
Merespons gelombang kritik dari mahasiswa, pihak Rektorat Universitas Udayana akhirnya angkat suara. Rektor Unud, I Ketut Sudarsana, menyampaikan bahwa pihak kampus siap menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa. Ia menyebut bahwa dalam waktu dekat, pihaknya akan mengusulkan pembatalan kerja sama tersebut kepada Kodam IX/Udayana.
Rektorat menegaskan bahwa keputusan ini diambil bukan karena tekanan, tetapi karena mereka merasa bertanggung jawab untuk mendengarkan dan menghormati keresahan mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika yang memiliki hak bersuara dalam dinamika kebijakan kampus.
Antara Kolaborasi dan Kecurigaan
Situasi ini menempatkan kerja sama antara institusi pendidikan dan militer dalam posisi dilematis. Di satu sisi, kolaborasi seperti ini bisa memperkaya wawasan mahasiswa terhadap isu-isu kebangsaan dan kedisiplinan. Namun di sisi lain, sejarah masa lalu dan pengalaman buruk terhadap kekuatan militer di masa lalu membuat sebagian masyarakat, termasuk mahasiswa, masih menyimpan trauma dan kecurigaan.
Dalam konteks Universitas Udayana, penolakan ini menunjukkan adanya kebutuhan akan komunikasi yang lebih terbuka dan transparan dari pihak kampus saat akan menjalin kerja sama strategis. Mahasiswa, sebagai salah satu stakeholder utama kampus, tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Peristiwa ini menyisakan pelajaran penting bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Ketika kampus ingin menjalin hubungan eksternal, terlebih dengan institusi seperti militer, diperlukan proses deliberatif yang melibatkan seluruh elemen kampus. Termasuk mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan.
Transparansi, partisipasi, dan dialog menjadi kunci agar kerja sama tidak berujung pada konflik internal yang bisa mencoreng nama baik institusi. Apa pun bentuknya, kerja sama harus berdiri di atas prinsip kesetaraan dan saling menghormati nilai-nilai demokrasi yang dijunjung tinggi oleh dunia akademik.