Polisi Ungkap Alasan Pelaku Pembunuhan Balita di Tangerang Tak Dijerat Pasal Berencana

1. Heri Budiman Dijerat Pasal Pembunuhan Biasa, Bukan Berencana
Kuatbaca.com - Polda Metro Jaya menetapkan Heri Budiman (38) sebagai tersangka kasus pembunuhan balita di Kosambi, Kabupaten Tangerang. Namun, tersangka tidak dikenakan pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), melainkan hanya dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa. Hal ini mengundang pertanyaan publik, mengingat tindakan tersangka tergolong brutal dan menghilangkan nyawa anak kecil.
2. Polisi: Niat Membunuh Timbul Seketika karena Emosi
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya, menjelaskan bahwa niat Heri untuk membunuh tidak direncanakan jauh hari, melainkan muncul secara spontan. Niat itu timbul karena tersangka merasa terganggu saat korban menangis pada tengah malam. Korban disebut menangis karena meminta susu, dan hal itulah yang memicu kemarahan Heri.
3. Latar Belakang Keluarga Jadi Faktor Tambahan Emosi
Selain rasa kesal karena suara tangisan korban, polisi juga mengungkap bahwa Heri menyimpan dendam terhadap keluarga ibu korban. Hubungan asmara Heri dengan ibu korban tidak mendapat restu dari keluarga, terutama kakak dari pihak perempuan. Perasaan tidak diterima ini turut memperburuk emosi tersangka yang kemudian dilampiaskan kepada sang anak.
4. Kenapa Bukan Pasal 340? Ini Penjelasan Hukumnya
Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana memiliki unsur penting berupa "perencanaan sebelumnya". Dalam kasus Heri Budiman, penyidik belum menemukan bukti bahwa pelaku telah merancang pembunuhan secara sadar dan terencana. Karena niat membunuh terjadi secara spontan saat emosi memuncak, maka yang diterapkan adalah Pasal 338 KUHP yang mengatur pembunuhan tanpa unsur perencanaan.
5. Jerat Hukum: Heri Terancam Hukuman Hingga 15 Tahun Penjara
Meski tidak dijerat pasal pembunuhan berencana, Heri tetap menghadapi ancaman hukuman berat. Ia dijerat dengan Pasal 338 KUHP, Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian, dan juga pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, yakni Pasal 76c jo Pasal 80 ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2014. Ancaman hukuman maksimal dalam perkara ini adalah 15 tahun penjara.
6. Kasus Ini Sorotan Nasional, Publik Dorong Hukuman Berat
Masyarakat luas mengecam keras tindakan pelaku, apalagi mengingat korban adalah anak di bawah umur. Banyak yang mendorong agar aparat hukum menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada tersangka. Terlebih lagi, fakta bahwa korban dibakar setelah dibunuh membuat kasus ini terasa makin kejam dan tak berperikemanusiaan.
7. Evaluasi Penegakan Hukum: Apakah Pasal 338 Sudah Cukup?
Meski pihak kepolisian menjelaskan dasar penggunaan pasal, sebagian publik dan pemerhati hukum tetap mempertanyakan mengapa tidak dilakukan pendalaman untuk mengejar unsur perencanaan. Dalam beberapa kasus pembunuhan serupa, aparat penegak hukum pernah memperluas penyelidikan hingga menetapkan pasal berencana. Hal ini membuat diskursus soal efektivitas pasal yang diterapkan menjadi relevan.
8. Perlindungan Anak Jadi Sorotan Serius Pemerintah
Tragedi ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap anak di Indonesia. Pemerintah dan aparat penegak hukum diingatkan untuk lebih serius dalam upaya pencegahan dan perlindungan anak. Selain penindakan tegas, edukasi kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan agar anak-anak tidak menjadi korban pelampiasan emosi orang dewasa.
9. Perlu Ketegasan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Anak
Organisasi perlindungan anak dan aktivis sosial menyuarakan pentingnya ketegasan aparat hukum dalam menangani kasus seperti ini. Mereka berharap kejadian tragis di Tangerang bisa menjadi momentum untuk meninjau kembali regulasi, sistem pengawasan, serta mekanisme pendampingan terhadap keluarga-keluarga rentan.
10. Menuntut Keadilan untuk Korban dan Pencegahan Kejadian Serupa
Kasus Heri Budiman menunjukkan betapa bahayanya ketika emosi tidak terkendali dilampiaskan kepada anak-anak. Meskipun niat membunuh disebut timbul seketika, publik berharap proses hukum tetap berjalan objektif dan transparan. Lebih dari itu, kejadian ini menjadi peringatan bahwa sistem perlindungan anak di Indonesia masih harus diperkuat dari segala sisi.