Kuatbaca.com-Baru-baru ini, media sosial dihebohkan dengan beredarnya sebuah video promosi wisata yang dibuat menggunakan teknologi artificial intelligence (AI). Video tersebut menampilkan sosok anak perempuan dengan latar belakang Candi Borobudur, menyampaikan narasi yang mengaitkan konsep “umrah” dengan perjalanan ke situs-situs budaya dan sejarah di Indonesia, termasuk Borobudur.
Dalam narasi video, disinggung pula simbol-simbol budaya seperti keris, dupa, serta peninggalan leluhur. Hal ini menyiratkan bahwa tempat-tempat bersejarah tersebut memiliki nilai spiritual mendalam yang diturunkan dari generasi ke generasi. Namun, penyebutan istilah “umrah” di tengah konteks yang tidak terkait dengan agama Islam menuai reaksi keras dari sebagian masyarakat.
Istilah "umrah", yang dalam Islam merujuk pada ibadah suci ke Tanah Haram di Mekah, digunakan dalam video tersebut untuk mengajak pemirsa melakukan semacam ziarah atau kunjungan spiritual ke candi-candi di Indonesia. Salah satu yang disebut secara eksplisit adalah Candi Borobudur, ikon budaya dan pariwisata Jawa Tengah.
Penggunaan istilah tersebut menimbulkan kegelisahan dari sebagian kalangan karena dianggap mencampuradukkan ajaran agama dan konteks budaya secara kurang bijak, terlebih dalam konten yang menyasar publik luas melalui platform digital.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah menyampaikan keberatannya terhadap isi video tersebut. Ia menekankan bahwa meskipun kebebasan berkreasi dijamin dalam demokrasi, penggunaan istilah yang memiliki makna ibadah dalam agama tertentu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan sensitivitas.
Konten yang menyentuh ranah keyakinan umat perlu dibuat secara cermat agar tidak memicu kesalahpahaman atau bahkan konflik antarumat beragama. Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan keragaman keyakinan, etika komunikasi publik menjadi sangat penting, terutama jika menggunakan teknologi seperti AI yang semakin banyak diakses oleh masyarakat umum.
MUI meminta agar pembuat konten AI tersebut diberi teguran, bukan karena melarang kreativitas, melainkan untuk menjaga harmoni antarumat. Di tengah kemajuan teknologi, nilai toleransi tetap menjadi fondasi dalam menyampaikan pesan apa pun kepada publik, terutama di ranah digital yang sangat terbuka.
Penting bagi para kreator untuk memahami bahwa AI bukanlah entitas bebas nilai. Di balik teknologi tersebut tetap ada manusia yang merancang dan menyusun pesan, sehingga tanggung jawab moral tetap berada pada penciptanya.
Kehadiran teknologi AI memang menawarkan potensi luar biasa dalam produksi konten digital, termasuk promosi pariwisata dan budaya. Namun, AI juga membawa tantangan baru dalam hal etika dan keakuratan narasi. Ketika AI digunakan untuk menyampaikan pesan yang menyentuh unsur keagamaan, risiko terjadinya penafsiran yang keliru semakin besar.
Teknologi seperti text-to-video atau voice synthesis memungkinkan siapa saja menciptakan konten dengan narasi kompleks, namun hal ini tidak boleh digunakan tanpa kontrol terhadap isi dan dampaknya terhadap publik. Perlu ada panduan etik yang jelas agar kreativitas tidak berubah menjadi alat provokasi atau penyebab kegaduhan.
Dalam konteks ini, pembuat video AI yang mempromosikan Borobudur seharusnya bisa memilih pendekatan naratif yang menghormati pluralisme dan tidak menyinggung ajaran agama tertentu. Misalnya, cukup dengan menekankan nilai sejarah dan spiritualitas budaya lokal tanpa menggunakan istilah religius dari agama lain.
Kesadaran akan batas-batas sensitivitas menjadi syarat mutlak di era digital. Apalagi ketika konten ditujukan untuk publik yang sangat majemuk, seperti Indonesia. Tanpa filter etika, konten yang semestinya edukatif dan promotif bisa menjadi kontroversi yang tak perlu.
Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya literasi digital dan kesadaran multikultural dalam setiap produksi konten, baik yang dilakukan oleh manusia maupun melalui teknologi seperti AI. Tidak semua istilah bisa digunakan secara bebas tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan religiusnya.
Candi Borobudur adalah situs warisan dunia yang memiliki nilai sejarah dan spiritualitas tinggi bagi sebagian masyarakat. Namun penyampaian pesan promosi wisata tetap perlu memperhatikan keragaman latar belakang masyarakat Indonesia. Menggunakan istilah yang berasal dari tradisi agama lain untuk keperluan promosi budaya bisa menimbulkan persepsi yang tidak diinginkan.
Demi menjaga keharmonisan sosial, semua pihak—termasuk pembuat konten, lembaga promosi, hingga influencer digital—perlu
meningkatkan kesadaran terhadap nilai-nilai toleransi. Kreativitas seharusnya bisa menjadi alat untuk menyatukan, bukan memecah belah.
Kasus ini juga menjadi momentum bagi pembuat kebijakan dan platform digital untuk mulai mempertimbangkan adanya panduan etik bagi konten AI, agar penggunaan teknologi tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan, kebhinekaan, dan ketertiban umum.