Kuatbaca.com-Di tengah terus berlanjutnya konflik bersenjata antara Israel dan Hamas, penderitaan rakyat Palestina kembali terpampang nyata. Kali ini, ribuan warga sipil harus mengungsi dari wilayah Beit Lahiya menyusul intensifnya operasi militer yang dilancarkan oleh pasukan Israel.
Pemandangan memilukan pun terlihat di wilayah pesisir Gaza. Tenda-tenda pengungsian yang didirikan secara darurat tampak berjejer rapat di sepanjang pantai. Warga yang mengungsi terdiri dari berbagai kalangan—anak-anak, perempuan, lansia—semuanya berupaya bertahan di tengah cuaca ekstrem dan keterbatasan logistik.
Gambaran ini bukan hanya potret kehilangan tempat tinggal, namun juga potret kehilangan rasa aman. Beit Lahiya, yang berada di utara Jalur Gaza, selama ini menjadi salah satu titik serangan paling intens. Serangan udara dan darat Israel dilaporkan menghantam kawasan permukiman, memaksa warga untuk segera mengungsi menyelamatkan diri.
Tanpa cukup waktu dan fasilitas, para pengungsi Palestina hanya mampu membawa barang-barang secukupnya. Mereka membangun tenda seadanya dari terpal, kain bekas, dan apapun yang bisa digunakan untuk berlindung. Lokasi di pesisir dipilih karena relatif jauh dari pusat konflik, meski tetap tidak sepenuhnya aman.
Kondisi para pengungsi di pesisir Gaza menjadi sorotan organisasi kemanusiaan internasional. Kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, dan sanitasi menjadi tantangan harian yang harus dihadapi. Anak-anak terlihat kurus dan lemah, sementara ibu-ibu berjuang menjaga anak-anak mereka tetap hidup dan sehat.
Tak hanya itu, tenda-tenda yang berdiri tidak memiliki sistem ventilasi yang layak. Ketika siang hari, suhu panas di pesisir membuat tenda menjadi seperti oven. Saat malam, angin dingin laut menusuk tulang tanpa perlindungan memadai. Situasi ini diperparah dengan terbatasnya pasokan bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayah Gaza.
Meski beberapa bantuan telah masuk melalui jalur penyeberangan seperti Kerem Shalom, distribusi ke wilayah pesisir seringkali terhambat karena alasan keamanan dan birokrasi militer. Ini menyebabkan ribuan pengungsi belum tersentuh bantuan secara optimal.
Sementara itu, badan kemanusiaan seperti UNRWA dan Palang Merah Internasional terus mengupayakan distribusi bantuan secara merata. Namun upaya mereka tidak selalu berjalan mulus di tengah medan konflik yang terus berubah setiap waktu.
Di balik deretan tenda-tenda lusuh itu, banyak harapan yang masih terpatri kuat. Anak-anak tetap bermain, meski hanya dengan sisa-sisa mainan atau bahkan batu dan pasir. Mereka tak paham betul makna perang, tapi memahami bahwa rumah dan sekolah mereka kini telah hancur.
Orang dewasa pun mencoba mempertahankan semangat hidup, walau kondisi psikis mereka mulai tergerus. Banyak yang kehilangan anggota keluarga akibat serangan udara. Beberapa lainnya hanya berharap bisa kembali ke rumah yang kini tinggal puing.
"Yang kami inginkan hanya hidup damai. Tidak lebih," ucap seorang pengungsi pria yang telah kehilangan tempat tinggalnya dua kali selama konflik berlangsung.
Sayangnya, harapan tersebut masih tergantung pada perkembangan politik dan keputusan internasional yang hingga kini belum mampu menghadirkan gencatan senjata permanen.
Kondisi tenda-tenda di pesisir Gaza menjadi cermin dari krisis kemanusiaan yang mendalam di Palestina. Laporan dari berbagai media internasional telah menyebar luas, namun tekanan diplomatik nyata terhadap pihak-pihak yang bertikai masih dinilai lemah.
Komunitas internasional didesak untuk memberikan perhatian lebih dan mendorong solusi damai yang adil. Bantuan kemanusiaan pun perlu dijamin aksesnya, tanpa blokade atau penundaan.
Saat ini, ratusan ribu warga Gaza masih hidup dalam pengungsian, baik di dalam negeri maupun di perbatasan. Mereka bukan hanya korban dari konflik militer, tetapi juga korban dari lambannya proses perdamaian yang tak kunjung menemui jalan keluar.