Peninjauan Kembali Dikabulkan, Setya Novanto Dapat Keringanan Hukuman dalam Kasus Korupsi e-KTP

1. Mahkamah Agung Kabulkan PK, Hukuman Setya Novanto Dipangkas
Kuatbaca.com - Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, kembali menjadi sorotan publik setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis kasus korupsi proyek e-KTP. Dalam putusan terbaru yang dirilis Rabu (2/7/2025), MA memangkas hukuman pidana Setya Novanto dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara, alias potongan masa tahanan selama 2,5 tahun.
Putusan ini tercantum dalam dokumen resmi MA dengan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, dan berdasarkan hasil sidang, majelis hakim tetap menyatakan Setya Novanto terbukti bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
2. Dampak PK: Potongan Hak Politik dan Proyeksi Bebas 2029
Tak hanya masa tahanan yang dikurangi, Setya Novanto juga mendapatkan keringanan dalam hal pencabutan hak politik. Semula, ia dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah masa pidana berakhir, kini menjadi 2,5 tahun saja.
Dengan total masa hukuman terbaru, ditambah potensi remisi tahunan dan pemotongan lain seperti pembebasan bersyarat, Novanto berpotensi bebas paling lambat pada 2029. Ini tentu menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat dan aktivis antikorupsi, mengingat besarnya skandal yang melibatkan nama besar tersebut.
3. Skandal e-KTP: Peran Sentral dan Uang Harus Dikembalikan
Dalam kasus mega-korupsi e-KTP yang mencuat sejak 2017, Setya Novanto terbukti menggunakan posisinya sebagai Ketua Fraksi Golkar dan anggota DPR RI untuk mengatur proses anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun. Ia juga meminta “jatah” komisi sebesar 10 persen dari pemenang tender, yaitu Paulus Tannos.
Majelis hakim pada 2018 menjatuhkan pidana 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, serta mewajibkan Novanto membayar uang pengganti senilai USD 7,3 juta, yang disebut sebagai bagian dari keuntungan ilegal yang diterimanya dalam proyek pengadaan KTP elektronik tersebut.
4. Jejak Kasus: Dari Pengaruh Politik ke Kecelakaan Mobil di Permata Hijau
Kasus Setya Novanto tidak hanya mengguncang DPR, tetapi juga menjadi cerita yang penuh drama. Salah satu momen paling diingat publik adalah ketika ia mengalami kecelakaan tunggal di kawasan Permata Hijau, Jakarta, pada 16 November 2017, saat hendak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Publik menduga kecelakaan itu sebagai upaya menghindari pemeriksaan, meskipun akhirnya Setya Novanto berhasil ditangkap dan menjalani proses hukum. Penangkapan ini menjadi simbol penting dalam perlawanan terhadap korupsi politik yang selama ini dinilai kebal hukum.
5. Reaksi Publik dan Tantangan Konsistensi Hukum Antikorupsi
Keputusan Mahkamah Agung yang memberikan keringanan kepada Setya Novanto menuai respons beragam. Sebagian pihak menilai ini sebagai ironi dalam sistem hukum Indonesia, terutama di tengah upaya pemerintah dan lembaga antirasuah untuk menunjukkan sikap tegas terhadap korupsi.
Diskon hukuman terhadap pelaku utama dalam mega-korupsi e-KTP dikhawatirkan akan melemahkan semangat pemberantasan korupsi, sekaligus menimbulkan kesan bahwa pelaku kejahatan besar masih bisa mendapatkan perlakuan istimewa melalui jalur hukum tertentu.
6. Evaluasi dan Transparansi: Harapan Terhadap Lembaga Peradilan
Kasus ini kembali mempertegas pentingnya transparansi dalam proses peninjauan kembali dan keputusan lembaga peradilan. Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap alasan pengurangan hukuman dan sejauh mana dampaknya terhadap keadilan publik dan efek jera.
Jika alasan PK hanya didasarkan pada aspek prosedural atau tafsir hukum semata tanpa mempertimbangkan besar kerugian negara dan dampak sosial, maka kepercayaan masyarakat terhadap integritas hukum dapat tergerus.