Kuatbaca.com-Kasus suap yang menyeret nama pengacara Lisa Rachmat memasuki babak baru. Jaksa Penuntut Umum secara resmi menuntut Lisa dengan hukuman penjara selama 14 tahun atas dugaan keterlibatannya dalam praktik suap terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Kasus ini terkait dengan upaya membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari jeratan hukum dalam perkara kematian Dini Sera.
Lisa diduga berperan sebagai perantara dalam pemberian uang suap kepada majelis hakim yang menangani kasus Ronald Tannur. Jaksa menyatakan bahwa Lisa menerima dan menyalurkan dana dalam jumlah besar sebagai bagian dari upaya mempengaruhi putusan pengadilan agar Ronald divonis bebas dari tuntutan.
Selain pidana badan, jaksa juga menuntut agar Lisa dijatuhi denda sebesar Rp 750 juta. Jika denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan pidana tambahan selama enam bulan kurungan. Tuntutan ini diajukan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam perkara ini, Lisa dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, termasuk Pasal 5 dan 6 tentang pemberian suap kepada penyelenggara negara, yang dikaitkan dengan Pasal 15 dan 18 mengenai pemberatan dan penyitaan hasil tindak pidana korupsi.
Dari fakta yang terungkap di pengadilan, Lisa Rachmat diduga menjadi pihak yang menyampaikan uang suap dari Meirizka Widjaja, ibu dari Ronald Tannur, kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara. Nilai total uang yang terlibat dalam kasus ini mencapai lebih dari Rp 4,6 miliar, terdiri dari Rp 1 miliar dalam mata uang rupiah dan SGD 308 ribu dalam dolar Singapura.
Dana tersebut diberikan kepada tiga orang hakim yang menangani perkara Ronald Tannur, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Ketiganya saat ini juga sedang menjalani proses hukum akibat dugaan keterlibatan mereka dalam menerima gratifikasi untuk mempengaruhi putusan pengadilan.
Suap yang diberikan disebut-sebut sebagai bentuk imbalan agar majelis hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap Ronald. Dalam praktiknya, uang tersebut dikumpulkan dan disalurkan melalui Lisa sebagai pengacara yang menangani kasus tersebut secara langsung.
Peran Lisa dianggap krusial dalam konstruksi kasus ini, karena ia menjadi penghubung utama antara pemberi dan penerima suap. Dalam berbagai sidang, jaksa berupaya membuktikan bahwa Lisa terlibat secara sadar dan aktif dalam mengatur alur transaksi ilegal tersebut.
Kasus ini tidak berhenti pada Lisa Rachmat dan para hakim di Surabaya. Nama Zarof Ricar, seorang pejabat tinggi di Mahkamah Agung, juga ikut terseret. Zarof didakwa menerima gratifikasi dalam jumlah yang sangat besar, mencapai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas selama masa jabatannya.
Zarof juga diduga memiliki peran sebagai makelar perkara dalam upaya membebaskan Ronald dari jerat hukum. Praktik jual beli perkara ini menggambarkan betapa sistemik dan mengakarnya korupsi di lembaga hukum, mulai dari pengacara hingga pejabat tinggi peradilan.
Sementara itu, Ronald Tannur sendiri telah dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun dalam tingkat kasasi. Meski sempat berupaya lolos dari hukuman melalui jalur suap, Mahkamah Agung akhirnya menolak putusan bebas dan memperbaikinya menjadi hukuman penjara.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa praktik suap dan peradilan yang bisa dibeli bukan hanya menghancurkan integritas hukum, tetapi juga mencederai keadilan bagi korban dan masyarakat luas yang menaruh harapan pada lembaga hukum.
Dengan tuntutan 14 tahun penjara yang diajukan kepada Lisa Rachmat, publik kini menunggu bagaimana majelis hakim akan memutuskan nasib sang pengacara. Kasus ini menjadi perhatian nasional karena menyangkut nama-nama besar dan dugaan jaringan mafia peradilan yang melibatkan uang dalam jumlah sangat besar.
Tuntutan ini juga membawa pesan tegas dari penegak hukum bahwa praktik jual beli putusan tidak akan ditoleransi. Masyarakat berharap bahwa hukuman berat dapat dijatuhkan agar memberikan efek jera, sekaligus menjadi peringatan bagi para pelaku hukum lainnya yang bermain di zona abu-abu.
Selain itu, kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan internal di lembaga-lembaga penegak hukum, mulai dari peradilan hingga kejaksaan. Reformasi birokrasi dan transparansi dalam sistem hukum harus terus diperkuat agar praktik serupa tidak berulang di
masa depan.
Dengan proses hukum yang terus berjalan, harapan publik tertuju pada tegaknya keadilan. Keputusan akhir dalam kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk membenahi sistem hukum dari akar, serta memberikan keadilan bagi semua pihak, termasuk korban dan masyarakat yang menuntut supremasi hukum yang bersih.