Nicholas Saputra Tegaskan Pentingnya Kejujuran dalam Film: “Ini Bukan Panggung Sandiwara!”

Kuatbaca.com - Dalam era industri kreatif yang terus berkembang, tren mengadaptasi novel ke layar lebar menjadi semakin marak. Namun, tak sedikit pembaca novel yang merasa hasil film tak sesuai ekspektasi. Hal ini menjadi sorotan aktor sekaligus produser ternama Indonesia, Nicholas Saputra. Dalam sesi diskusi Novel to Cinema Writing Academy yang digelar di Blok M, Jakarta Selatan, Nicholas menyampaikan pandangannya tentang batas antara dunia novel dan sinema.
Menurut Nicholas, film tidak bisa diharapkan sepenuhnya mencerminkan keseluruhan isi dan nuansa sebuah novel karena perbedaan medium serta keterbatasan durasi dan teknis. Ia menjelaskan bahwa pengalaman membaca novel sangat personal, sementara film adalah hasil interpretasi dari para pembuatnya.
“Menurut saya, gak akan bisa sebuah film mencakup semua cerita dalam novel, karena adanya limitasi tertentu. Novel itu selalu punya kemelekatan secara personal dengan pembacanya, sedangkan film hal tersebut datang dari filmmaker,” ungkap Nicholas.
1. Peran Aktor: Antara Kebebasan dan Batas Karakter
Membahas lebih jauh mengenai dunia sinema, Nicholas juga mengungkapkan tentang peran aktor dalam membentuk karakter dalam film. Menurutnya, meski terlihat bebas dalam berekspresi, aktor sebenarnya terikat oleh banyak faktor seperti naskah, arahan sutradara, hingga batas produksi.
“Kalau pemain film itu diatur, sebebas-bebasnya tetap ada limitasi dari berbagai aspek,” ujar pemeran Rangga dalam film legendaris Ada Apa dengan Cinta? itu.
Kebebasan dalam berakting, menurut Nicholas, bukan tentang improvisasi tanpa batas, tetapi bagaimana seorang aktor mampu jujur dan menyatu dengan karakter yang diperankan.
2. Akting Adalah Kejujuran, Bukan Kepura-puraan
Salah satu pernyataan yang paling menggugah dari Nicholas Saputra dalam forum tersebut adalah tentang definisi sejati dari akting. Ia menegaskan bahwa akting bukanlah seni berpura-pura, melainkan justru bentuk paling jujur dalam ekspresi seni peran.
“Akting itu bukan pura-pura, justru itu yang paling jujur. Ketika aktor masih berpura-pura, itu tandanya belum menjiwai,” tegasnya.
Ia bahkan menambahkan bahwa film bukanlah panggung sandiwara. Di sinema, aktor justru dituntut untuk menanggalkan topeng dan menjadi satu dengan karakternya. Pernyataan ini menjadi refleksi mendalam tentang keaslian dalam karya seni.
“Film itu bukan panggung sandiwara. Kita di sini justru membuka topeng pura-pura kita dan menjadi satu dengan karakternya,” sambung Nicholas.
3. Karisma Saktika, Peserta Termuda dengan Imajinasi Segar
Acara yang berlangsung selama empat hari ini juga menjadi ajang unjuk bakat bagi generasi muda. Salah satunya adalah Karisma Saktika Bestari Semesta, peserta termuda berusia 10 tahun asal Semarang. Ia mencuri perhatian lewat naskah orisinal berjudul Timun Mas in Wonderland, sebuah interpretasi modern dari kisah tradisional Timun Mas.
“Sekarang kan sudah beda lagi zamannya, jadi kayak mikir ‘seru ya’ kalau misal Timun Mas zaman dahulu tuh bisa diadaptasikan jadi versi modern gitu,” ujar Karisma dengan semangat.
Karya Karisma berangkat dari keprihatinannya terhadap minimnya tontonan anak-anak yang sesuai dengan usia mereka. Dengan membumbui kisah lokal dengan nuansa modern, ia berharap bisa menciptakan jembatan antara nilai tradisi dan dunia digital masa kini.
“Harapannya semoga bisa banyak yang suka. Terus bisa, ngeimbangin, mungkin tahun-tahunan sekarang ya, bisa ngeimbangin buat anak-anak juga gitu sih,” tuturnya.
4. Misi Acara Novel to Cinema Writing Academy
Program Novel to Cinema Writing Academy yang diadakan oleh Salaka Credu, AND Read, dan Persada Pictures ini bukan hanya sekadar pelatihan, tetapi juga gerakan membangun jembatan antara dunia literasi dan perfilman. Acara ini menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Agung Sentausa, Robert Ronny, Andrei Aksana, Nina Pane, dan Nicholas Saputra sendiri.
Tujuan utamanya adalah menciptakan support system yang kuat antara penulis dan sineas dalam proses alih wahana dari tulisan ke visual, agar kualitas cerita yang dihasilkan bisa tetap otentik dan menggugah, baik untuk pembaca maupun penonton.