NATO Bergerak Menuju Target Belanja Militer 5%: Warisan Tuntutan Trump yang Makin Nyata

7 June 2025 20:32 WIB
dw-1749298592257_169.webp

Kuatbaca.com-NATO, aliansi pertahanan Atlantik Utara yang beranggotakan 32 negara, tengah menghadapi babak baru dalam sejarah modernnya. Jelang KTT tahunan di Den Haag pada 24–25 Juni mendatang, para pemimpin militer dan politik Eropa bersiap untuk menyepakati target belanja militer baru sebesar 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing negara. Sebuah loncatan besar dari standar sebelumnya yang hanya 2%.

Desakan peningkatan anggaran pertahanan ini bukan hal baru. Mantan Presiden AS Donald Trump selama masa jabatannya pernah menuntut agar sekutu-sekutu NATO menanggung beban keamanan global secara lebih adil. Kini, tuntutan itu mendapatkan momentum seiring meningkatnya kekhawatiran akan kekuatan Rusia dan ketegangan global yang terus memburuk.

Sekretaris Jenderal NATO yang baru, Mark Rutte, menyampaikan optimismenya bahwa konsensus terhadap target baru tersebut hampir tercapai. Dalam konferensi pers di Brussel, ia menyatakan, “Kita hampir sampai. Komitmen dari mayoritas anggota sudah kuat.” Ini menjadi indikasi kuat bahwa NATO sedang bergerak ke arah transformasi yang lebih agresif.


1. Skema Baru: 5% PDB untuk Pertahanan dan Infrastruktur Militer

Berbeda dari target sebelumnya yang fokus pada anggaran pertahanan aktif, skema 5% yang kini diusulkan memiliki pembagian yang lebih rinci. Sebesar 3,5% dari PDB diarahkan untuk belanja militer langsung seperti pengadaan senjata, sistem pertahanan, dan penggajian personel. Sementara 1,5% sisanya dialokasikan untuk infrastruktur pendukung seperti jalan militer, jembatan strategis, pelabuhan militer, hingga bandara logistik.

Meski mayoritas negara anggota menyambut positif arah baru ini, sejumlah negara kecil dan menengah masih bergulat untuk memenuhi target lama sebesar 2%. KTT NATO tahun 2023 telah kembali menegaskan pentingnya mencapai minimal 2%, tetapi realisasinya masih timpang: hanya 22 dari 32 negara anggota yang telah mencapainya.

Jika target 5% benar-benar diterapkan, negara-negara seperti Spanyol, Belgia, dan Italia diperkirakan akan menghadapi tekanan politik domestik untuk mengalihkan anggaran dari sektor sosial ke militer, sebuah isu yang sensitif di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi.


2. Amerika Serikat Dorong Beban Pertahanan Lebih Merata

Di balik lonjakan target ini, pengaruh Amerika Serikat tetap dominan. Mantan Presiden Donald Trump pernah menegaskan bahwa Amerika tidak bisa terus-menerus menjadi tulang punggung pertahanan global, terlebih ketika fokus strategisnya kini bergeser ke kawasan Indo-Pasifik dan stabilitas perbatasan dalam negeri.

Trump bahkan mempertanyakan komitmen AS untuk membela negara sekutu yang belum memenuhi target belanja militer, seraya memberlakukan tarif perdagangan atas nama keamanan nasional. Dalam pandangannya, sekutu Eropa harus menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar terhadap keamanan kolektif.

Menteri Pertahanan AS saat ini, Pete Hegseth, membela pendekatan Trump dengan mengatakan bahwa eks Presiden AS itu telah “menyelamatkan NATO dari ketidakpedulian kolektif”. Ia menyebut tekanan Trump sebagai katalis yang memaksa negara-negara Eropa untuk kembali memprioritaskan pertahanan dalam kebijakan fiskalnya.

Penurunan jumlah pasukan AS di Eropa, yang kini mencapai 84.000 personel, menjadi sinyal bahwa NATO harus siap menopang dirinya sendiri. “Amerika tidak bisa berada di mana-mana sekaligus,” ujar Hegseth, menekankan pentingnya distribusi tanggung jawab.


3. Cetak Biru Baru NATO: Persenjataan dan Mobilisasi Kilat

Selain persoalan anggaran, NATO juga tengah menyusun cetak biru pertahanan baru yang mencakup penguatan sistem logistik, pengadaan senjata berat, dan kemampuan pengisian bahan bakar di udara. Dalam skenario terburuk, NATO menargetkan bisa mengerahkan hingga 300.000 pasukan dalam waktu 30 hari ke perbatasan timur Eropa.

Zona pertahanan dibagi menjadi tiga wilayah: Eropa utara dan Atlantik, kawasan utara Pegunungan Alpen, serta selatan Eropa. Masing-masing zona memiliki rencana kontingensi tersendiri, dengan skenario penyerangan yang disimulasikan secara berkala.

Strategi ini menandai perombakan besar pertama sejak Perang Dingin. Fokus utamanya adalah mempercepat respons militer terhadap potensi agresi dari Rusia atau aktor negara lain yang dinilai berpotensi mengancam keamanan regional.

Namun, para analis pertahanan menilai tantangan logistik tetap besar. Infrastruktur seperti jalur kereta militer dan jembatan belum siap sepenuhnya, dan tingkat interoperabilitas antarnegara anggota masih belum sempurna.


4. Rusia Jadi Alasan Utama di Balik Percepatan Rencana

Motivasi utama dari percepatan target NATO ini tidak lain adalah Rusia. Meski masih terlibat dalam perang di Ukraina, banyak pengamat percaya bahwa Moskow memiliki kapasitas untuk memulihkan kekuatan militernya dalam waktu relatif cepat, terutama jika perang berakhir dalam beberapa tahun ke depan.

Jika pemulihan Rusia terjadi lebih cepat dari prediksi, NATO harus sudah dalam kondisi siap tempur. Oleh karena itu, aliansi ini menargetkan seluruh transformasi struktur dan anggaran dapat selesai dalam kurun 5–10 tahun ke depan.

Dalam suasana penuh ketegangan global dan ketidakpastian, NATO kini berusaha membangun solidaritas yang lebih kuat, dengan anggaran lebih besar dan kesiapan militer lebih tangguh. Seperti dikatakan Mark Rutte, “Waktu kita terbatas, tapi komitmen bersama telah mengarah ke sana.”

Transformasi NATO menuju belanja pertahanan sebesar 5% PDB menandai babak baru dalam lanskap geopolitik dunia. Di tengah ancaman Rusia dan perubahan fokus global AS, aliansi ini sedang berupaya menjadi lebih mandiri, solid, dan siap dalam menghadapi segala kemungkinan. KTT NATO di Den Haag diperkirakan akan menjadi momen penentu arah baru pertahanan Eropa dan sekutunya.

Fenomena Terkini






Trending