Menyelamatkan Pendidikan Keagamaan dari Ancaman Kekerasan Seksual

Kuatbaca.com-Kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan pendidikan keagamaan kembali menjadi perhatian serius di Indonesia. Insiden guru ngaji yang diduga mencabuli puluhan santri di Tebet, Jakarta Selatan, serta pelecehan di pesantren Jawa Timur, mengungkap celah besar dalam perlindungan anak dan perempuan di ruang pendidikan non-formal dan informal.
1. Kasus Kekerasan Seksual di Pendidikan Keagamaan yang Menggemparkan
Pada akhir Juni 2025, seorang guru ngaji berinisial AF ditangkap polisi setelah diduga melakukan pencabulan terhadap sedikitnya 10 santri berusia 10-12 tahun dengan modus pelajaran tambahan fiqih hadas. Korban diberi uang kecil dan diancam agar tidak bercerita. Kasus ini diduga telah berlangsung sejak 2021.
Selain itu, belasan santriwati di sebuah pesantren di Sumenep, Jawa Timur, mengaku mengalami pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh pemilik dan pengurus pondok. Dalam dua tahun terakhir, sejumlah kasus serupa juga muncul di Jakarta dan sekitarnya, menunjukkan lemahnya pengawasan di lingkungan pendidikan keagamaan informal.
2. Statistik dan Tantangan Sistemik Perlindungan Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat lebih dari 13.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang paruh pertama 2025. Angka ini mencerminkan kelemahan sistem pengawasan, minimnya profesionalisme guru informal, dan rendahnya literasi pendidikan seksual di masyarakat.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa perlindungan terhadap pendidikan keagamaan non-formal masih jauh dari kata ideal. Kurangnya standar etik dan mekanisme pengaduan membuat ruang pendidikan ini rentan menjadi tempat terjadinya kekerasan.
3. Lima Langkah Krusial Memutus Mata Rantai Kekerasan
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah terpadu:
- Edukasi perlindungan anak bagi guru dan murid, agar anak paham bahwa tubuh mereka adalah ranah pribadi.
- Pengawasan ketat terhadap guru non-formal dan informal untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
- Penguatan mekanisme seleksi guru, sistem pelaporan yang mudah, dan pendampingan psikologis bagi korban di lingkungan belajar keagamaan.
- Dorongan masyarakat untuk aktif melapor dan mendukung korban tanpa bias.
- Peran orang tua sebagai pelindung pertama dengan pengetahuan dan komunikasi terbuka mengenai kekerasan dan hak anak.
4. Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Guru Informal
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengakui pendidikan formal, non-formal, dan informal, termasuk pendidikan keagamaan seperti pengajian dan madrasah diniyah. Negara wajib memberikan perlindungan setara bagi semua jalur pendidikan ini.
Sayangnya, banyak guru ngaji dan pendidik informal lain belum mendapatkan pengawasan dan pelatihan perlindungan anak yang memadai. Regulasi dan mekanisme pengaduan untuk mereka pun minim. Pemerintah harus berperan aktif memastikan ruang pendidikan keagamaan aman dan berpihak pada anak, dengan melibatkan berbagai agama dan kepercayaan secara adil.
Kekerasan seksual dalam pendidikan keagamaan adalah tantangan serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan cepat. Sinergi antara edukasi, pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan regulasi guru informal sangat penting demi menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman. Pendidikan harus menjadi tempat di mana anak-anak dapat tumbuh dengan selamat dan bahagia sesuai semangat Ki Hadjar Dewantara.