Menhub dan Gojek-Grab Buka Suara soal Potongan Komisi Ojol: Benarkah Cuma 20%?

20 May 2025 08:18 WIB
ojol-cs-demo-besar-besaran-menhub-petinggi-grab-gojek-buka-suara-1747645017541_169.jpeg

Kuatbaca.com - Isu potongan komisi yang tinggi dari perusahaan aplikasi transportasi digital kembali mencuat dan memicu keresahan di kalangan pengemudi ojek online (ojol). Banyak mitra pengemudi mengeluhkan potongan yang dianggap mencekik, bahkan disebut-sebut mencapai lebih dari 20% per perjalanan. Merespons kegelisahan tersebut, Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi memanggil petinggi Gojek, Grab, Maxim, dan inDrive untuk melakukan klarifikasi langsung.

1. Pemerintah Ingin Ciptakan Ekosistem Transportasi Digital yang Seimbang

Dalam pertemuan yang berlangsung di Aroem Resto & Cafe Jakarta, Menhub Dudy Purwagandhi menyatakan bahwa Kementerian Perhubungan sebagai regulator ingin mendengarkan langsung keluhan dan realita dari seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem transportasi daring—baik itu perusahaan aplikator, mitra pengemudi, hingga pengguna layanan.

“Ini soal membangun ekosistem yang sehat, berkelanjutan, dan adil. Tidak hanya untuk mitra, tetapi juga UMKM, pelanggan, hingga pemasok logistik,” ujar Dudy.

Langkah ini diambil menyusul gelombang protes dari pengemudi ojol yang menuntut kejelasan potongan komisi serta sistem kerja yang lebih manusiawi dan transparan.

2. Gojek dan Grab Tegaskan Tidak Ada Potongan di Atas 20%

Menanggapi isu potongan lebih dari 20%, perwakilan GOTO (Gojek) dan Grab Indonesia secara tegas membantah tuduhan tersebut. Menurut mereka, potongan komisi kepada mitra pengemudi hanya sebesar 20% dari tarif dasar perjalanan, dan tidak pernah melebihi itu.

Catherine Hindra Sutjahyo, Direktur GOTO, menyebut bahwa dari potongan 20% tersebut, sebagian besar digunakan untuk:

  • Promosi pelanggan (diskon tarif)
  • Pengembangan sistem dan teknologi aplikasi
  • Fitur keselamatan dan layanan pelanggan

“Kami tidak pernah mengambil lebih dari 20% dari biaya perjalanan. Bahkan sebagian besar dari komisi itu digunakan untuk mendukung pelanggan dan ekosistem,” jelas Catherine.

Hal serupa disampaikan oleh Tyas Widyastuti, Director of Mobility & Logistics Grab Indonesia, yang menjelaskan bahwa yang dikenakan komisi adalah tarif dasar perjalanan, bukan total harga setelah promo. Ketidaktahuan tentang ini, menurutnya, sering menimbulkan salah persepsi di kalangan mitra.

3. Klarifikasi Grab: Komisi untuk Teknologi dan Keamanan

Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, juga mengklarifikasi bahwa potongan 20% mencakup berbagai aspek operasional dan manfaat mitra, antara lain:

  • Pengembangan teknologi aplikasi
  • Fitur keamanan bagi pengemudi dan pelanggan
  • Asuransi pengemudi saat bertugas
  • Program dukungan sosial atau bantuan darurat

“Komisi tersebut bukan murni keuntungan perusahaan. Sebagian besar dialokasikan kembali ke sistem yang digunakan mitra sehari-hari,” tegas Tirza.

4. Masih Ada Gap Persepsi antara Mitra dan Aplikator

Meski para petinggi aplikator sudah menyampaikan klarifikasi, isu ketimpangan persepsi antara aplikator dan pengemudi masih menjadi pekerjaan rumah besar. Banyak pengemudi merasa bahwa sistem pembagian pendapatan tidak transparan, terutama ketika muncul potongan lain di luar komisi seperti:

  • Biaya layanan
  • Potongan promo yang dibebankan ke mitra
  • Kode promo atau diskon besar-besaran

Sebagian pengemudi juga mempertanyakan mengapa pendapatan bersih mereka tidak sesuai dengan estimasi 80:20, terutama saat menerima tarif rendah atau ketika menjalankan promo massal.

5. Kebutuhan akan Regulasi dan Transparansi Sistem Aplikasi

Pertemuan ini menandai awal dari peningkatan komunikasi antara regulator dan pelaku industri, namun belum menyentuh solusi konkret. Dalam jangka panjang, penguatan regulasi diperlukan agar:

  • Komisi aplikator diaudit dan diumumkan secara terbuka
  • Pembagian pendapatan bisa diawasi publik
  • Pengemudi mendapat jaminan minimum income dan jaminan sosial

Pemerintah juga bisa mempertimbangkan langkah seperti membentuk aplikasi nasional atau daerah seperti yang dilakukan Korea Selatan, agar model bisnis transportasi daring lebih adil dan berkelanjutan.

Gojek, Grab, dan aplikator lainnya bersikukuh bahwa komisi maksimal adalah 20%, bukan lebih. Namun di lapangan, keluhan mitra masih menggema, menandakan adanya gap informasi, transparansi, dan kepercayaan. Pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi penengah, tapi juga mengawal regulasi yang memastikan keadilan dan keberlanjutan ekosistem transportasi digital Indonesia, di mana pengemudi bukan hanya mitra, tapi bagian utama yang layak dihargai secara adil.

Fenomena Terkini






Trending