Jajang Y. Habib
Praktisi Media, Alumni Ekonomi Studi Pembangunan Unsoed, Purwokerto
Ada Bejo di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025-2029. Bejo atau lebih lengkapnya Bejo's adalah singkatan dari bertanggung jawab, edukatif, jujur, objektif, dan sehat industri. Bejo's ini menjadi arah pembangunan media masa yang akan dilakukan di dalam kerangka pemantapan komunikasi pembangunan dan informasi publik.
Upaya yang akan dilakukan untuk mewujudkan media masa yang Bejo's ini adalah melalui penguatan kapasitas lembaga dan insan pers yang diharengi mewujudkan iklim penyehatan media arus utama. Bersamaan dengan itu, akan dilakukan pula penguatan kesetaraan masyarakat atas informasi publik.
Menggandengkan media dengan pembangunan tentunya bukanlah hal yang baru. Karena pembangunan memang perlu media sebagai sarana komunikasi dengan audiensnya. Adapun audiens media tak lain adalah masyarakat yang menjadi sasaran sekaligus sumber pemberitaan, dan pastinya pemasukan media. Bagaimana karakter masyarakat, maka demikian pula karakter yang harus ditampilkan media, setidaknya supaya laku.
Namun demikian, di sinilah problem pembangunan itu berada. Sebetulnya sejak dulu hingga sekarang, problem pembangunan itu ada pada karakter. Bukan pada ekonomi, apalagi industri semata. Perhatikan dalam nama Bejo's, kata industri diletakkan belakangan. Di depannya ada amanah tanggungjawab, pendidikan (edukatif), kejujuran, dan keseimbangan (obyektifitas) yang sangat dominan pada masalah karakater.
Maka ketika media dikaitkan dengan pembangunan, karakter pembangunan juga tergantung kepada para audiensnya sekaligus pelakunya. Dalam hal ini lebih tepat jika diaebut stakeholder pembangunan atau pemangku kepentingannya, dan karakter pemangku kepentingan adalah karakter manusia.
Dari sisi akademis, ada sebuah buku yang mengulas tentang keberadaan karakter dan stakeholder di dalam fungsi pembangunan. Ini sebuah buku lama yang ditulis oleh Irma Adelman. Beliau ini seorang ekonom dari Amerika Serikat.
Kata beliau, karakter dan stakeholder itu terdapat di dalam social milieu yang jika dituangkan ke dalam persamaan implisit akan diwakili oleh variabel dengan simbol u atau yang disebut sebagai institutional setting. Dalam padanan bahasa Indonesianya, institutional setting dikenal sebagai tatanan kelembagaan.
Inilah kiranya mengapa dalam RKP 2025-2029, disebutkan bahwa pemantapan komunikasi pembangunan melalui media perlu dilakukan melalui penguatan kapasitas lembaga dan insan pers. Perhatikan betapa lembaga, kelembagaan, dan insan memang sulit untuk diseparasi.
Demikianlah bahwa manusia sebagai pemangku kepentingan dengan ragam karakter yang mereka bawa akan membentuk suatu tatanan kelembagaan memang memengaruhi rangkaian tahap prmbangunan suatu bangsa dan bahkan dunia.
Namun demikian, dewasa ini posisi manusia sebagai pemangku kepentingan pembangunan perlahan-lahan menghilang. Atau lebih tepatnya seperti variabel u yang menjadi pudar dari persamaan pembangunan Irma Adelman. Variabel u ini memudar karena secara teknis faktor manusia mulai tergeser oleh perkembangan teknologi.
Sebetulnya, perkembangan teknologi yang semakin kompleks ini juga bukannya hadir tanpa tatanan. Bahkan Teknologi Informasi pun ada pula aturan tata kelolanya yang dikenal sebagai IT Governance. Namun, IT governance ini berkembang dengan basis mekanisme umum teknologi yang pada dasarnya bersifat biner.
Tidaklah mengejutkan oleh karenanya bila tatatan kelembagaan masyarakat saat ini sebetulnya bukan semakin memudar namun bergeser ke dalam sistem yang makin mekanistik. Sebagai konsekuensi otomatis, manusia sebagai pemangku kepentingan pembangunan pun tidak lagi organik.
Jika organik memiliki kesan yang lebih dominan secara fisik atau biologis, maka dari perspektif sosial dan konseptual tatanan masyarakat kita pun semakin menghindari masalah normatif. Norma yang lebih bersifat fuzzy logic memiliki kemungkinan tak terhingga hanya dalam satu langkah.
Inilah sebetulnya yang terjadi pada ilmu ekonomi, terutama ilmu ekonomi dalam beberapa dekade terakhir. Ketika media saja secara eksplisit dikaitkan dengan pembangunan, justru ilmu ekonomi telah lama diceraikan dari pembangunan. Ilmu ekonomi kini hanya mau membahas masalah positif alias masalah biner; bisa atau tidak. Ilmu ekonomi saat ini tidak bicara patut atau tidak, etik atau tidak, tidak bicara karakter.
Sementara itu di dalam pembangunan bidang apapun, selama ada manusia, maka ada karakter, dimana nilai dan norma memiliki posisi sentral. Sama halnya dengan media tempat artikel ini dimuat, apapun peristiwa yang diberitakan, siapapun pihak yang disebut, bahkan berapapun angka yang ditulis, di belakangnya ada karakter, yaitu karakter media yang terbangun dari pilihan sadar para awak medianya.
Pilihan media ini lebih dalam lagi didasarkan pada nilai, yang membuat sesuatu layak jadi berita atau tidak, namanya nilai berita. Kemudian masih pula disandingkan dengan sudut tertentu yang membuat suatu obyek pemberitaan yang sama bisa dituangkan ke dalam kisah yang berbeda rasa, itulah sudut pemberitaan.
Maka, dalam konteks media, nilai dan norma jualah yang sebetulnya menjadi sajian utama. Ia dikemas dalam kata dalam angka dalam peristiwa dalam penokohan dalam artikel dalam berita. Sajian nilai dan norma ini kemudian memicu respon dari pembaca. Lalu respon pembaca mewujud kelak sebagai basis motivasi beragam pemangku kepentingan.
Ada pemangku kepentingan yang termotivasi untuk sekedar berempati terhadap apa yang diberitakan, ada yang turut berkomentar dan memiliki andil dalam membangun wacana, ada pula yang hingga mengambil sikap lebih jauh, bahkan ada pula yang terus bertindak.
Bila konteks media dalam paragraf di atas ditukar kembali dengan ekonomi, maka problem ekonomi sekarang pun juga ada pada karakter. Karena karakter perekonomian juga tergantung kepada para stakeholder atau pemangku kepentingannya, dan karakter pemangku kepentingan adalah karakter manusia.
Alhasil, segala upaya membangun manusia semestinya menghasilkan manusia pembangun, dan begitupula pembangunan ekonomi pun baru memiliki arti ketika diwadahi dalam ekonomi yang berkontribusi pada pembangunan. Dalam bahasa Bejo's, industi yang sehat tidak berarti tanpa tanggungjawab, nilai edukasi, kejujuran, dan obyektifitas.