Mahasiswa Gugat UU TNI Hasil Revisi ke MK, Minta Pembatalan dan Ganti Rugi

Kuatbaca.com-Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) hasil revisi baru-baru ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sekelompok mahasiswa. Mereka menggugat pengesahan UU tersebut dan meminta MK untuk membatalkan UU tersebut, serta menghukum Presiden dan Anggota DPR yang terlibat dalam proses pembentukannya. Gugatan ini menyoroti ketidakterbukaan dalam proses pembahasan dan pengesahan UU yang mereka anggap tidak sesuai dengan konstitusi Indonesia.
Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan dua mahasiswa, Hidayatuddin dan Respati Hadinata, yang bersama empat mahasiswa lainnya mengajukan gugatan tersebut. Mereka menuntut agar MK memutuskan bahwa UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bertentangan dengan UUD 1945, serta meminta adanya ganti rugi atas pelanggaran hak konstitusional mereka.
1. Alasan Mahasiswa Menggugat UU TNI Hasil Revisi
Para mahasiswa yang menggugat UU TNI ini berpendapat bahwa pengesahan RUU TNI dalam rapat paripurna DPR tidak transparan. Mereka menganggap proses pembahasan revisi UU tersebut tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai dan terkesan terburu-buru. Salah satu alasan utama yang disampaikan oleh para pemohon adalah ketidakjelasan mengenai penyelesaian konflik komunal dalam UU TNI yang baru, terutama terkait dengan pemogokan yang disebutkan dalam pasal-pasal tertentu. Menurut mereka, pasal-pasal tersebut tidak memberikan penjelasan yang jelas dan pasti mengenai prosedur atau substansi yang dimaksud, sehingga dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.
Selain itu, para penggugat merasa dirugikan karena hak konstitusional mereka sebagai warga negara yang juga merupakan pembayar pajak, telah dilanggar selama proses pembahasan dan pengesahan UU tersebut. Mereka menilai bahwa adanya ketidakterbukaan ini berpotensi merugikan masyarakat secara luas, khususnya dalam hal pengaturan penyelesaian konflik sosial.
2. Permohonan Pembatalan dan Ganti Rugi
Dalam dokumen permohonan mereka, mahasiswa yang menggugat meminta agar MK tidak hanya membatalkan UU tersebut, tetapi juga memberikan hukuman kepada Presiden dan Anggota DPR yang terlibat dalam pengesahannya. Mereka mengajukan agar para pembentuk undang-undang diberi sanksi berupa ganti rugi yang harus dibayar kepada negara sebagai akibat dari kelalaian dalam menjalankan tugas mereka dengan benar.
Para penggugat mengusulkan agar MK memberikan ganti rugi sebesar Rp 50.000.000.000 kepada negara yang harus dibayar oleh masing-masing Pimpinan dan Anggota DPR RI yang hadir dalam rapat paripurna yang mengesahkan UU TNI tersebut. Mereka juga meminta agar Presiden Republik Indonesia dikenakan ganti rugi sebesar Rp 25.000.000.000, mengingat tugas dan kewenangannya yang dianggap lalai dalam proses pembuatan undang-undang tersebut.
3. Permintaan Pemberian Tenggang Waktu untuk Perbaikan
Selain meminta pembatalan dan ganti rugi, para mahasiswa ini juga mengajukan opsi lain. Mereka meminta agar MK memberikan tenggang waktu satu tahun untuk melakukan perbaikan dalam proses pembentukan UU TNI. Jika dalam waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka mereka meminta agar UU tersebut dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Dalam hal ini, mereka mengusulkan agar pembentukan UU tersebut dilakukan kembali sesuai dengan ketentuan yang benar dan transparan.
Lebih lanjut, mereka juga menginginkan agar Badan Legislasi DPR dan Presiden diberi kewajiban untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila perbaikan tidak dilakukan, maka mereka meminta agar seluruh norma dalam UU yang telah diubah atau dihapus tersebut kembali berlaku seperti semula, yaitu sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang lama.
4. Dampak Hukum dan Tanggung Jawab Pemerintah
Jika permohonan ini diterima oleh Mahkamah Konstitusi, maka hal ini dapat menjadi preseden penting bagi masa depan proses pembuatan undang-undang di Indonesia. Selain itu, kasus ini juga menunjukkan adanya ketegangan antara pemerintah, legislatif, dan mahasiswa sebagai elemen masyarakat yang turut menjaga
konstitusi negara.
Mahasiswa yang menggugat tidak hanya meminta pembatalan UU, tetapi juga menuntut adanya tanggung jawab hukum terhadap pemerintah dan DPR yang dianggap telah lalai dalam menjalankan fungsi mereka. Dalam konteks ini, mereka berharap agar keputusan MK bisa membawa perubahan signifikan dalam cara pembuatan undang-undang yang lebih transparan, melibatkan publik, dan mematuhi prinsip-prinsip konstitusional yang ada dalam UUD 1945.
Gugatan terhadap revisi UU TNI yang dilakukan oleh sekumpulan mahasiswa ini mencerminkan pentingnya transparansi dalam proses pembuatan undang-undang di Indonesia. Masyarakat, terutama kalangan mahasiswa yang aktif, turut berperan dalam mengawal setiap kebijakan yang berpotensi mempengaruhi kehidupan mereka. Jika MK memutuskan untuk mengabulkan gugatan ini, maka langkah tersebut dapat menjadi acuan penting dalam perbaikan sistem legislasi dan mengingatkan semua pihak agar lebih berhati-hati dalam membentuk undang-undang yang melibatkan hak-hak konstitusional rakyat.