Kisah Soekarno Cetuskan Marhaenisme Setelah Berbincang dengan Petani
Kuatbaca - Kondisi masyarakat Indonesia pada tahun 1920-an yang mengalami keterpurukan ekonomi mendorong Presiden Soekarno mencetuskan ideologi Marhaenisme.
Konsep itu muncul ketika Soekarno yang masih berusia 20 tahun berbincang dengan seorang petani di daerah selatan Kota Bandung.
Dalam buku otobiografi berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966), Soekarno bercerita, pada suatu pagi ia bersepeda tanpa tujuan, hingga tiba di suatu daerah pertanian.
Di sana ia menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, masing-masing luasnya kurang dari sepertiga hektar.
Kemudian, Soekarno menghampiri salah satu petani dan menanyakan apakah tanah dan alat pertanian yang digunakan merupakan miliknya pribadi.
Petani itu menjawab, tanah tersebut merupakan warisan secara turun temurun, begitu juga dengan alat pertanian yang merupakan miliknya pribadi. Sang petani juga mengatakan dirinya tidak bekerja untuk orang lain.
Mendengar jawaban itu, Soekarno kembali menanyakan mengenai hasil ekonomi yang didapat dari menggarap tanah.
"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?" tanya Soekarno.
Petani tersebut mengangkat bahu dan mengatakan, "Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?"
"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" Soekarno kembali bertanya.
"Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual," jawab petani.
"Kau mempekerjakan orang lain?" ucap Soekarno.
"Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya," ujarnya.
Kemudian Soekarno menanyakan nama petani tersebut, pria itu bernama Marhaen. Sejak saat itu Soekarno menamai setiap orang malang di Indonesia dengan nama Marhaen.
Menurut Soekarno, Marhaen adalah orang yang tidak bekerja untuk orang lain, hanya memiliki alat sedikit, dan hasil dari bekerja hanya cukup dirinya sendiri.
Bagi Soekarno, kaum Marhaen tidak sebatas petani, namun mencakup profesi lainnya yang memiliki alat produksi sendiri namun dimelaratkan oleh sistem imperialisme perdagangan Belanda kala itu.
“Bangsa kita yang puluhan juta jiwa sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang yang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik,” kata Soekarno.
1. Perbedaan Marhaen dan Proletar
Pemikiran Soekarno mengenai Marhaenisme dipengaruhi oleh teori kelas Karl Marx. Marx membagi masyarakat kapitalis dalam dua kelas, yakni borjuis dan proletar.
Namun Soekarno menafsirkan hal itu dengan melihat kondisi masyarakat Indonesia, sehingga muncul istilah Marhaen.
Dalam buku Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (2021), Soekarno menyebutkan, kapitalisme di Eropa berbeda dengan di Indonesia.
Di eropa sistem kapitalisme lebih ke arah pabrik, sedangkan di Indonesia ke arah kapitalisme pertanian.
Bagi Soekarno, Marhaen tidak seperti proletar di Eropa yang bekerja untuk orang lain. Marhaen bekerja untuk dirinya sendiri dan memiliki alat produksi sendiri.
Kata, Soekarno kaum proletar adalah hasil langsung dari kapitalisme dan imperialisme. Mereka kenal dengan pabrik, mesin, listrik dan segala modernisasi pada abad 20.
Sedangkan Marhaen masih bersifat kuno dan terbelakang. Alat produksi yang mereka gunakan pun tidak mengikuti modernisasi.
Marhaen secara tidak langsung dibuat melarat oleh sistem perdagangan. Sehingga hasil dari bekerja hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri.
Konsep Marhaenisme pun dipahami sebagai sebuah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme.