Ketua MA Sindir Hakim Bergaya Hedonis: Gaji Puluhan Juta, Arloji Miliaran Rupiah

Kuatbaca.com - Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Sunarto, menyampaikan kritik tajam terhadap gaya hidup sejumlah hakim yang dinilai tidak sesuai dengan pendapatan resmi mereka. Dalam kegiatan pembinaan hakim di kantor Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Jumat (23/5/2025), Sunarto menyindir hakim yang berpenampilan mewah meskipun gaji mereka hanya berkisar antara Rp 23 juta hingga Rp 27 juta.
Dengan nada tegas, Sunarto mempertanyakan moralitas dan rasa malu para penegak hukum yang mengenakan barang-barang mewah seperti tas Louis Vuitton (LV), sepatu Bally, hingga arloji seharga miliaran rupiah. “Nggak malu? Gajinya Rp 23 juta, pakai LV, sepatu Bally Rp 30 juta, arloji Rp 1 miliar? Orang lihat, pasti bertanya-tanya,” ujarnya lantang.
Sunarto menegaskan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan gaya hidup mewah secara umum. Namun, ia menyoroti ketidaksesuaian gaya hidup tersebut dengan penghasilan yang sah. Menurutnya, publik pasti akan berspekulasi buruk, terlebih jika barang-barang tersebut dibeli dari uang yang tidak jelas sumbernya, apalagi jika berasal dari hasil “mengolah perkara”.
Ia juga melempar pertanyaan retoris yang menyentil nurani: “Kalau nggak malu sama masyarakat, apa nggak takut sama Tuhan? Minimal takutlah sama wartawan. Difoto pakai arloji Rp 1 miliar, apa nggak malu?” tegasnya.
Korupsi Berakar dari Gaya Hidup Tak Seimbang
Menurut Sunarto, praktik korupsi di lingkungan peradilan seringkali berakar dari perbedaan mencolok antara pendapatan resmi dan gaya hidup para hakim. Gaya hidup yang dipaksakan inilah yang seringkali menjerumuskan para penegak hukum ke dalam perilaku menyimpang.
Ia menyebut, walau mungkin ada alasan sah seperti warisan atau hadiah, publik tetap berhak bertanya. “Kalau di Amerika bisa bilang menang lotre. Tapi di Indonesia? Nggak ada mimpi seperti itu,” katanya setengah menyindir.
Sunarto menyampaikan bahwa Mahkamah Agung kini tengah mengupayakan revisi undang-undang, termasuk UU Mahkamah Agung dan peradilan organik lainnya (peradilan umum, agama, dan tata usaha negara). Upaya ini telah mendapat lampu hijau dari Presiden Prabowo Subianto dan kini tengah diproses lebih lanjut.
Namun, ia menegaskan, semua perjuangan itu akan sia-sia jika masih ada hakim yang “menjual toganya” demi uang, merusak kehormatan profesi yang seharusnya dijaga dengan integritas tinggi.
Sunarto: Jangan Nistakan Profesi Hakim Demi Gaya Hidup
Lebih jauh, Sunarto memperingatkan bahwa peningkatan kesejahteraan hakim dan perpanjangan masa jabatan akan sia-sia jika mentalitas korup tetap mengakar. “Kalau dinodai lagi, banyak yang berteriak. Untuk apa usia pensiun dinaikkan? Untuk apa tunjangan diperbesar, kalau masih ada yang menukar prinsip keadilan dengan uang?” tegasnya.
Ia menyebut fenomena ini sebagai kondisi di mana keputusan hukum bukan lagi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi berubah menjadi keputusan yang berdasar pada “keuangan yang maha kuasa” — sebuah sindiran tajam terhadap integritas hakim yang mudah tergoda materi.
“Marilah kita malu pada diri sendiri,” pesan Sunarto yang mengajak seluruh hakim untuk bercermin dan mengevaluasi kembali komitmen moral mereka dalam menjalankan hukum.
Sindiran ini bukan hanya ditujukan pada individu, tetapi sebagai peringatan bagi seluruh institusi peradilan agar tidak menyia-nyiakan kepercayaan publik dan fasilitas negara yang telah diberikan.
Transparansi dan Integritas Jadi Sorotan Publik
Pesan dari Ketua MA ini mempertegas pentingnya transparansi dan integritas dalam dunia peradilan. Di tengah upaya negara membangun sistem hukum yang bersih dan terpercaya, gaya hidup para hakim menjadi salah satu indikator penting yang dipantau publik.
Dalam era keterbukaan informasi, gaya hidup mencolok pejabat publik—terutama di bidang hukum—mudah menjadi bahan kritik dan spekulasi. Apalagi jika tidak diimbangi dengan laporan harta kekayaan (LHKPN) yang transparan dan masuk akal.
Kritik Sunarto merupakan bentuk introspeksi yang perlu didukung oleh semua pemangku kepentingan, mulai dari internal MA, Komisi Yudisial, hingga masyarakat sipil. Ke depan, pembinaan etika dan pengawasan terhadap gaya hidup hakim perlu menjadi bagian dari reformasi menyeluruh di tubuh peradilan Indonesia.