Keteguhan Iptu Ulva: Dari Cibiran ‘KPK Kecamatan’ Jadi Simbol Polisi Bersih

Kuatbaca.com - Di tengah berbagai tantangan dalam membenahi pelayanan publik, sosok Iptu Andi Sriulva Baso atau akrab disapa Iptu Ulva muncul sebagai figur polisi perempuan yang tak goyah oleh cibiran. Meskipun sempat dijuluki ‘KPK tingkat kecamatan’ secara sarkastik, semangatnya untuk menghapus pungutan liar tetap menyala.
Inovasi yang dibawanya, Meja Tanpa Laci, menjadi simbol nyata keberanian melawan budaya koruptif dalam pelayanan kepolisian. Gagasannya bukan hanya soal meja, melainkan filosofi kerja transparan tanpa celah untuk “uang pelicin”. Ketekunan dan integritasnya kini mengantarkan Ulva masuk ke dalam tiga besar kandidat Hoegeng Awards 2025 kategori Polisi Inovatif.
1. Awal Mula Meja Tanpa Laci: Dari Papua Barat ke Sulsel
Ide Meja Tanpa Laci tercetus pertama kali setelah Ulva mengikuti pelatihan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) di Sorong, Papua Barat pada 2015. Sepulang dari pelatihan itu, ia langsung mengimplementasikan idenya saat bertugas di Polsek Panakkukang, Makassar.
Tidak berhenti di sana, saat dimutasi ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Takalar, Ulva kembali membawa dan menerapkan inovasi yang sama. Ia menyadari, sistem yang transparan harus dibangun dari hal paling dasar: meja kerja tempat pelayanan.
Namun, perubahan itu tentu tidak mudah. Banyak rekan kerja bahkan masyarakat yang belum siap dengan pendekatan bersih ini. Ia pun kerap mendapat cibiran seperti, “Sok suci, sok bersih,” bahkan disebut “KPK Kecamatan.” Tapi semua itu tidak menyurutkan langkahnya.
2. Prinsip Hidup: Jujur, Disiplin, dan Tak Menyusahkan
Ulva menceritakan bahwa prinsip jujur dan tidak mengambil hak orang lain ditanamkan sejak kecil oleh almarhum ayahnya. "Pokoknya gajimu itu hakmu, jangan ambil hak orang," kenangnya. Nilai-nilai itulah yang ia bawa hingga kini menjadi bagian dari institusi Polri.
Sebagai mantan Kanit PPA Polres Takalar, Ulva memahami betul pentingnya kepercayaan publik. Ia ingin menjadi polisi yang benar-benar melayani, bukan menyusahkan masyarakat. Baginya, pelayanan adalah bentuk ibadah, dan Meja Tanpa Laci adalah cara nyata menjalankan amanah itu.
3. Apresiasi dari Internal dan Eksternal Polri
Langkah Ulva tidak berjalan sendiri. Ia mendapat dukungan dari sejumlah tokoh dan pihak, termasuk Koordinator SPAK Sulawesi Selatan, Husaima Husain, yang menyebut Ulva sebagai “warisan perubahan” bagi institusinya. Husaima berharap agar kepolisian bisa melahirkan “Ulva-Ulva” lainnya.
“Ketika Ulva pindah, dia meninggalkan warisan di Polsek Panakkukang. Sekarang tantangannya adalah bagaimana lembaga bisa merawat dan melanjutkan budaya bersih ini,” ujar Husaima.
Tak hanya itu, Wadirlantas Polda Sulsel, AKBP Erwin Syah, juga memberikan apresiasi. Ia menyebut Meja Tanpa Laci adalah manifestasi dari komitmen integritas dalam pelayanan publik. Menurutnya, perbaikan sistem pelayanan harus dimulai dari SDM yang memiliki niat kuat untuk bersih dan melayani masyarakat dengan jujur.
4. Simbol Perubahan di Tengah Institusi yang Berbenah
Apa yang dilakukan Iptu Ulva bisa jadi sederhana, tapi dampaknya sangat besar. Meja Tanpa Laci bukan sekadar perabot, tetapi simbol revolusi mental dalam institusi penegak hukum. Gagasannya menunjukkan bahwa perubahan tidak harus datang dari pucuk pimpinan. Dari satu orang, satu meja, satu sikap jujur—budaya pelayanan yang bersih bisa dimulai.
Di tengah kepercayaan publik yang kerap naik turun terhadap lembaga kepolisian, kehadiran figur seperti Iptu Ulva menjadi napas segar. Ia membuktikan bahwa masih ada polisi yang bekerja bukan untuk menyenangkan atasan, tetapi untuk melindungi, melayani, dan mengayomi rakyat dengan tulus.
Kini, masyarakat menantikan agar sistem Meja Tanpa Laci bisa direplikasi secara nasional. Sebab bila semua meja pelayanan diubah menjadi simbol keterbukaan, maka harapan untuk Indonesia yang bebas pungli bisa makin nyata.