Kerugian Akibat Demo Ojol Capai Rp 188 Miliar, Komisi V DPR Siap Godok UU Angkutan Online

Kuatbaca.com-Aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan para pengemudi ojek online (ojol) dan taksi online beberapa waktu lalu ternyata berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Komisi V DPR RI mencatat bahwa potensi kerugian ekonomi akibat aksi ini mencapai Rp 187,95 miliar, berdasarkan perhitungan lembaga riset IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies).
Angka kerugian tersebut diambil dari estimasi nilai transaksi yang terganggu dalam satu hari demo, yang merupakan bagian dari total Gross Transaction Value (GTV) layanan transportasi daring sepanjang tahun 2024 yang diproyeksikan mencapai Rp 135 triliun. Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, mengungkapkan hal ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para perwakilan driver online.
Kerugian yang cukup besar ini mencerminkan besarnya kontribusi para mitra ojol dalam perputaran ekonomi nasional, khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Lasarus menekankan bahwa keberadaan ojol tidak hanya sebagai penyedia jasa transportasi, tetapi juga penggerak ekonomi harian masyarakat.
Dalam diskusi tersebut, disoroti pula bahwa demonstrasi ini bukan sekadar aksi emosional, melainkan bentuk protes terhadap ketimpangan yang selama ini terjadi antara pengemudi dan perusahaan aplikator.
1. Survei Tunjukkan Ketimpangan antara Pengemudi dan Aplikator
Dalam kesempatan itu, Lasarus juga menyinggung hasil survei dari Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, yang melibatkan ribuan responden dari kalangan pengguna jasa dan mitra pengemudi. Dari survei tersebut diketahui bahwa mayoritas pengguna memanfaatkan ojol untuk perjalanan dari rumah (70,62%) dan ke tempat kerja (29,57%).
Jarak tempuh yang paling sering dilayani berkisar antara 4–8 kilometer (41,24%), dan mayoritas pengguna memanfaatkan layanan ojol untuk keperluan bekerja atau berbisnis (57,74%). Data ini menunjukkan betapa vitalnya layanan transportasi online dalam mendukung aktivitas ekonomi harian masyarakat.
Namun dari sisi pengemudi, ditemukan bahwa pendapatan harian mereka cenderung setara dengan biaya operasional. Sekitar 50% responden pengemudi menyatakan hanya memperoleh pendapatan harian Rp 50.000–Rp 100.000, dengan pengeluaran harian di kisaran yang sama. Artinya, margin keuntungan sangat tipis bahkan cenderung merugi.
Tak hanya itu, sekitar 52% pengemudi mengaku jarang mendapat bonus dari aplikator, dan lebih dari 37% lainnya mengaku tidak pernah mendapatkannya. Bahkan, 75% pengemudi menyatakan sangat jarang memperoleh tip dari penumpang, menambah beban berat dalam menjalani profesi ini.
2. Tuntutan Driver: Potongan Aplikasi Harus Maksimal 10 Persen
Salah satu tuntutan utama yang disampaikan oleh para pengemudi ojol dalam demonstrasi tersebut adalah soal potongan komisi yang dinilai terlalu besar. Berdasarkan aduan yang diterima DPR, sebagian besar pengemudi menuntut pemotongan maksimal 10% dari setiap transaksi, menggantikan skema saat ini yang dalam praktiknya kerap melebihi 20%, bahkan hingga mendekati 50%.
Selain soal potongan, para pengemudi juga meminta agar perusahaan aplikator diberi sanksi tegas apabila melanggar Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub No. 1001 Tahun 2022. Regulasi ini sebelumnya sudah mengatur batas potongan dan sistem tarif minimal, namun implementasinya dinilai tidak efektif.
Tak hanya soal pendapatan, para pengemudi juga menyampaikan keberatan terhadap sistem pemesanan penumpang (matching system) yang dirasa tidak transparan dan kerap merugikan mereka secara sepihak. Banyak pengemudi merasa sistem ini memberikan ketidakadilan dalam distribusi order.
Ketimpangan antara perusahaan aplikator dan mitra pengemudi yang terus berulang ini memicu gelombang demonstrasi hampir setiap tahun. Lasarus menyebut bahwa ini merupakan indikator kuat bahwa pemerintah perlu hadir lebih konkret untuk memberikan kepastian dan perlindungan terhadap para pengemudi transportasi online.
3. DPR Akan Bahas UU Khusus Angkutan Online
Menanggapi aspirasi yang terus mengalir dari para pengemudi, Komisi V DPR RI menyatakan komitmennya untuk segera menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Angkutan Online. Menurut Lasarus, pimpinan DPR RI sudah memberikan instruksi langsung agar pembahasan undang-undang ini segera dimulai.
RUU ini nantinya tidak hanya akan melibatkan Komisi V, tetapi juga lintas komisi dan stakeholder terkait, termasuk Kementerian Perhubungan, Kemenkominfo, dan lembaga perlindungan konsumen. Tujuannya adalah untuk menciptakan regulasi yang adil dan seimbang bagi semua pihak, termasuk perlindungan yang lebih kuat bagi pengemudi.
Dengan adanya payung hukum yang jelas, diharapkan hubungan antara perusahaan aplikator dan mitra pengemudi menjadi lebih transparan, adil, serta bebas dari eksploitasi. DPR juga akan mendorong agar perusahaan digital yang bergerak di sektor
transportasi wajib tunduk pada prinsip perlindungan pekerja dan keadilan ekonomi.
Langkah DPR ini diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang yang mampu mencegah terulangnya aksi-aksi demonstrasi akibat ketidakpuasan terhadap sistem yang ada.