Keluhan Driver Ojol soal Program ‘Aceng’ Serba Goceng, Disampaikan Langsung ke DPR

21 May 2025 16:52 WIB
rapat-komisi-v-dpr-dan-perwakilan-driver-ojol-membahas-ruu-transportasi-online-rabu-2152025-anggi-muliawatidetikcom-1747819492150_169.jpeg

Kuatbaca.com-Sejumlah pengemudi ojek online (ojol) yang tergabung dalam komunitas Garda Indonesia menyampaikan keluh kesah mereka langsung kepada Komisi V DPR RI dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Salah satu suara yang mencuri perhatian datang dari seorang ibu ojol bernama Eki Zakiya Aziz. Dalam pertemuan yang digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Eki menyuarakan aspirasi para driver terkait potongan pendapatan dan program aplikasi yang mereka nilai merugikan.

Eki menyoroti bahwa pengemudi ojol sudah terlalu lama dibebani dengan potongan biaya jasa yang tinggi, bahkan melebihi batas wajar. Ia meminta DPR untuk memperjuangkan agar potongan biaya oleh aplikator dapat ditetapkan maksimal 10 persen saja. Ia menekankan bahwa driver online di Indonesia saat ini tidak berada dalam posisi yang menguntungkan, terlebih jika dibandingkan

dengan negara tetangga seperti Malaysia, di mana potongan hanya berkisar 6 persen.

Menurut Eki, besarnya potongan dari hasil jerih payah para pengemudi telah menggerus penghasilan mereka, padahal sebagian besar pengemudi bergantung penuh pada penghasilan harian. Ia berharap Komisi V sebagai mitra kerja Kementerian Perhubungan bisa menjadi saluran konkret untuk mendorong aturan baku mengenai batas maksimal potongan jasa oleh perusahaan aplikator.

Dengan penuh semangat, Eki menyatakan bahwa angka 10 persen adalah harga mati bagi komunitas driver online. Ia menganggap potongan yang lebih tinggi dari itu sebagai bentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja berbasis platform digital.


1. Program ‘Aceng’ Serba Goceng Dikecam sebagai Penjajahan Ekonomi

Tak hanya membahas potongan jasa, Eki juga memprotes keras keberadaan program bernama "Aceng", istilah yang digunakan para driver untuk menyebut layanan "aplikasi serba goceng". Program ini dianggap merugikan karena driver hanya mendapatkan Rp 5.000 untuk setiap perjalanan, tak peduli seberapa jauh jarak tempuh atau beban risiko perjalanan tersebut.

Dalam pertemuan tersebut, Eki menjelaskan arti program Aceng kepada Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus. Ia menyebut bahwa istilah “goceng” berarti Rp 5.000. Program Aceng dianggap sebagai bentuk modern dari eksploitasi terhadap tenaga kerja digital, karena tidak hanya menekan penghasilan driver, tapi juga meletakkan seluruh risiko operasional di pundak para pengemudi.

Ia menegaskan, tidak ada perlindungan nyata dari asuransi yang dijanjikan oleh aplikator. Proses klaim asuransi yang rumit dan memakan waktu hingga berbulan-bulan membuat banyak driver enggan melanjutkan proses jika mengalami kecelakaan saat bekerja. Ini menambah beban psikologis bagi pengemudi yang seharusnya dilindungi secara maksimal oleh sistem.

Eki pun menegaskan bahwa praktik seperti ini bukan hanya merugikan driver, tetapi juga melemahkan semangat kerja dan menciptakan ketimpangan sosial ekonomi di tengah masyarakat digital. Ia meminta Komisi V mendesak pemerintah dan aplikator untuk menghentikan program-program semacam itu yang dinilai eksploitatif.


2. Permintaan Penghapusan Sistem ‘Slot Berbayar’ yang Dinilai Merugikan

Selain program Aceng, Eki juga mengungkap praktik lain yang dianggap merugikan pengemudi, yakni sistem "slot" berbayar. Menurutnya, driver diwajibkan membayar hingga Rp 30.000 agar bisa mendapatkan prioritas pesanan. Jika tidak membayar, mereka hampir tidak mendapat order sepanjang hari, meski tetap online.

Sistem ini menurutnya seperti bentuk pemerasan modern terhadap driver. Padahal, pengemudi sudah mengeluarkan modal harian seperti bahan bakar, perawatan kendaraan, serta kuota internet. Dengan tambahan beban slot ini, penghasilan bersih pengemudi makin tergerus, bahkan bisa jadi merugi jika hari itu tidak banyak order.

Ia meminta DPR RI dan pemerintah pusat untuk menyelidiki lebih dalam sistem ini dan memastikan bahwa semua praktik bisnis yang dilakukan oleh perusahaan aplikasi sesuai dengan prinsip keadilan dan perlindungan bagi pekerja. Para driver berharap ada regulasi ketat yang bisa membatasi kebijakan aplikator agar tidak semena-mena terhadap mitra kerjanya.

Selain itu, Eki juga menyampaikan bahwa belum ada transparansi dari pihak aplikator terkait perhitungan tarif, potongan, dan insentif. Hal ini membuat para pengemudi tidak memiliki kuasa tawar dan hanya bisa menerima kebijakan sepihak.


3. DPR Siap Tindak Lanjut dan Rancang UU Angkutan Online

Merespons keluhan tersebut, Ketua Komisi V DPR RI Lasarus menyatakan pihaknya akan mendorong pembahasan Undang-Undang khusus tentang angkutan online. Ia mengakui bahwa sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang komprehensif untuk melindungi hak-hak driver ojol maupun taksi online.

Menurut Lasarus, masalah ini bukan hanya urusan transportasi, tetapi juga berkaitan erat dengan ketenagakerjaan, perlindungan sosial, dan pemerataan ekonomi digital. Komisi V pun berjanji akan melibatkan berbagai pihak termasuk Kemenhub, Kemenaker, dan Kementerian Kominfo dalam proses penyusunan UU tersebut.

Dalam waktu dekat, DPR akan membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas rancangan regulasi ini secara lebih dalam. Tujuannya adalah menciptakan iklim usaha yang sehat antara driver sebagai pekerja dengan aplikator sebagai perusahaan penyedia platform digital.

Fenomena Terkini






Trending