Jokowi Pilih PSI, Guntur Romli PDIP Singgung Keinginan Kembali Jadi Rakyat Biasa

Kuatbaca.com-Perkembangan terbaru dalam kancah politik nasional kembali mencuri perhatian publik. Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), menyatakan preferensinya memilih Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dibandingkan terjun dalam bursa calon ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pernyataan Jokowi ini menimbulkan reaksi dari sejumlah pihak, termasuk dari politisi PDIP, Guntur Romli, yang mengaitkan sikap Jokowi dengan pernyataannya ingin kembali menjadi warga biasa di Solo usai tak lagi menjabat sebagai presiden. Berikut ulasan lengkap terkait dinamika ini.
1. Jokowi Memilih PSI Sebagai Kendaraan Politik
Jokowi mengungkapkan bahwa dirinya lebih memilih berkiprah di PSI jika harus terjun kembali ke dunia partai politik. Ia menilai banyak calon ketua umum PPP yang memiliki kapasitas dan kompetensi lebih baik dibandingkan dirinya. Pernyataan ini sekaligus menepis rumor yang menyebut dirinya akan maju dalam bursa calon ketua umum PPP.
Pilihan Jokowi ke PSI menjadi tanda bahwa mantan presiden ini ingin melangkah ke partai yang dianggapnya lebih sesuai dengan visi dan misi politiknya saat ini. PSI yang dikenal dengan basis anak muda dan agenda progresif menjadi alternatif yang menarik bagi Jokowi dalam menjaga pengaruh politiknya.
2. Guntur Romli Singgung Keinginan Jokowi Jadi Warga Biasa
Menanggapi pernyataan Jokowi, politisi PDIP, Guntur Romli, memberikan komentar kritis. Ia mengingatkan bahwa Jokowi pernah menyatakan keinginannya untuk kembali menjadi rakyat biasa di Solo setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir. Menurut Guntur, pernyataan tersebut seolah bertolak belakang dengan kenyataan saat ini di mana Jokowi masih aktif “cawe-cawe” atau ikut campur dalam dinamika politik partai.
Guntur menilai sikap Jokowi yang terus terlibat dalam politik membuatnya sulit dipercaya sepenuhnya terkait pernyataan ingin pensiun dari dunia politik. Hal ini menjadi bahan diskusi dan penilaian publik terhadap konsistensi sikap mantan presiden tersebut.
3. Kontroversi Kepercayaan Publik Terhadap Jokowi
Lebih jauh, Guntur Romli menyinggung sejumlah isu yang menurutnya menjadi penyebab menurunnya kepercayaan publik terhadap Jokowi. Mulai dari isu perpanjangan masa jabatan (tiga periode), proyek mobil Esemka, intervensi politik dalam pilpres untuk kepentingan anaknya, hingga kontroversi ijazah palsu yang sempat mencuat, dianggap menjadi bagian dari "trust issue" yang dibangun sendiri oleh Jokowi.
Menurut Guntur, hal tersebut membuat publik harus lebih kritis dan tidak mudah menerima pernyataan Jokowi begitu saja. Ia menyerahkan penilaian ini kepada masyarakat luas untuk menilai sejauh mana sikap politik Jokowi bisa dipercaya.
4. Bursa Calon Ketua Umum PPP dan Posisi PSI
Selain Jokowi, bursa calon ketua umum PPP diisi oleh sejumlah tokoh yang cukup dikenal seperti Muhammad Romahurmuziy, Andi Amran Sulaiman, Saifullah Yusuf, dan Sandiaga Uno. Namun, partai PPP sendiri menegaskan bahwa mereka tidak pernah secara formal melamar Jokowi sebagai calon ketua umum.
Ketua DPP PPP, Syaifullah Tamliha, menekankan bahwa keputusan Jokowi untuk bergabung dengan PSI adalah hak politik pribadi yang harus dihormati. Hal ini juga menunjukkan bahwa peluang Jokowi di PPP sangat kecil atau bahkan tidak ada.
Sementara itu, PSI sebagai partai yang berfokus pada generasi muda dan isu-isu progresif, dinilai menjadi wadah yang cocok untuk Jokowi melanjutkan aktivitas politiknya tanpa harus terjebak dalam intrik partai lama.
Pilihan Jokowi yang lebih condong ke PSI serta respons kritik dari politisi PDIP Guntur Romli menandai dinamika politik yang menarik menjelang pergantian kepemimpinan partai dan regenerasi tokoh politik nasional. Sikap Jokowi ini sekaligus menjadi bahan perdebatan soal konsistensi dan niat sebenarnya dari mantan presiden dalam berpolitik setelah masa jabatannya berakhir.
Seiring perkembangan lebih lanjut, publik tentu akan terus mengamati langkah Jokowi dan bagaimana hal ini mempengaruhi peta politik Indonesia ke depan. Bagaimana menurut kamu, apakah pilihan Jokowi di PSI bisa jadi langkah strategis? Atau justru menimbulkan tanda tanya baru? Yuk, ngobrol!