Inilah Alasan Mengapa Ukuran Uang Kertas Rupiah Berbeda-Beda: Bukan Sekadar Desain, Tapi Soal Aksesibilitas dan Keamanan

Kuatbaca.com - Peluncuran uang rupiah kertas emisi tahun 2022 oleh Bank Indonesia (BI) sempat menarik perhatian masyarakat, khususnya karena perbedaan mencolok dalam hal ukuran fisik antar pecahan. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa pecahan uang tersebut tidak disamakan ukurannya seperti pada uang emisi sebelumnya? Ternyata, perubahan ini bukan tanpa alasan. Ada pertimbangan sosial dan teknologi di balik keputusan tersebut. Yuk, simak ulasan lengkapnya berikut ini.
1. Ukuran Uang Kertas Disesuaikan Demi Aksesibilitas bagi Tuna Netra
Salah satu alasan utama perbedaan ukuran uang kertas pada edisi terbaru adalah untuk memudahkan masyarakat penyandang disabilitas netra dalam mengenali nominal uang. Selama ini, uang rupiah memang telah memiliki blind code atau kode khusus tunanetra. Namun, menurut aspirasi yang dihimpun BI dari komunitas tunanetra, kode tersebut saja belum cukup membantu.
Dengan adanya perbedaan panjang antar pecahan, para penyandang tunanetra bisa lebih mudah mengenali nominal hanya dari panjang fisik uang kertas yang mereka pegang. Perbedaan ukuran yang sebelumnya hanya 2 mm pada uang emisi 2016 kini diperlebar menjadi 5 mm per pecahan pada uang emisi 2022.
2. Semakin Kecil Nominal, Semakin Pendek Ukuran Uang
Desain baru ini mengadopsi pendekatan yang sistematis: semakin kecil nilai uang, maka semakin pendek pula ukurannya. Hal ini dilakukan secara konsisten, sehingga pengguna, terutama tunanetra, bisa belajar membedakan nominal secara lebih akurat dan cepat.
Sebagai contoh:
- Rp 1.000: 121x65 mm
- Rp 2.000: 126x65 mm
- Rp 5.000: 131x65 mm
- Rp 10.000: 136x65 mm
- Rp 20.000: 141x65 mm
- Rp 50.000: 146x65 mm
- Rp 100.000: 151x65 mm
Bandingkan dengan ukuran seragam (hampir sama panjang) pada emisi 2016 yang berkisar antara 141–151 mm. Perbedaan ini kini menjadi jauh lebih terasa.
3. Dilengkapi Teknologi Anti Pemalsuan Canggih
Tak hanya perubahan ukuran, uang emisi 2022 juga dipersenjatai dengan berbagai fitur keamanan mutakhir yang membuatnya sulit dipalsukan. Salah satu teknologi yang digunakan adalah microlenses, yakni benang pengaman mikro yang sebelumnya hanya digunakan pada uang edisi khusus Rp 75.000.
Microlenses ini diklaim sebagai teknologi tertinggi dalam sistem keamanan uang kertas, yang dapat memberikan efek visual jika dilihat dari sudut tertentu. Hal ini membuat uang kertas lebih sulit ditiru, sekaligus tetap nyaman dilihat dan digunakan.
4. Tinta Bergerak dan Fitur UV Tambahan
Bank Indonesia juga memperkenalkan fitur Optically Variable Magnetic Ink (OVMI) pada desain uang 2022. Teknologi ini memungkinkan beberapa gambar pada uang tampak bergerak atau berubah warna ketika dilihat dari sudut berbeda. Efek ini bisa dirasakan, misalnya, pada gambar pahlawan atau elemen dekoratif lainnya.
Sementara itu, fitur ultraviolet (UV) ditingkatkan di beberapa sisi uang. Misalnya, pada uang pecahan Rp 100.000, terdapat citra kepulauan Indonesia yang akan menyala saat disinari lampu UV. Ini menjadi bentuk penghormatan kepada pahlawan proklamator, Soekarno dan Mohammad Hatta, yang wajahnya terpampang di uang tersebut.
5. Harmonisasi Antara Fungsi Sosial dan Keamanan
Bank Indonesia melalui kebijakan ini menunjukkan komitmen untuk menjadikan uang rupiah sebagai alat transaksi yang inklusif dan aman. Inklusif karena memperhatikan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas netra. Aman karena dilengkapi teknologi anti pemalsuan tercanggih yang pernah diterapkan di Indonesia.
Perubahan ini bisa jadi terasa asing di awal, namun dengan sosialisasi dan penggunaan yang terus berlanjut, masyarakat akan terbiasa dan memahami manfaat dari desain baru ini.
6. Uang Kertas Lebih dari Sekadar Alat Tukar
Uang rupiah bukan sekadar alat tukar, melainkan juga simbol kedaulatan dan keberpihakan negara kepada rakyatnya. Lewat inovasi desain dan teknologi pada uang kertas 2022, Bank Indonesia berupaya menghadirkan alat pembayaran yang tidak hanya praktis, tetapi juga aman, ramah disabilitas, dan modern.
Masyarakat diharapkan dapat memahami perubahan ini bukan sebagai gangguan, tetapi sebagai langkah maju menuju sistem keuangan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan semua warga negara.