Heboh Pajak Padel 10 Persen, Gubernur Pramono Anung Mengaku Belum Tahu

Kuatbaca.com-Jakarta kembali diramaikan oleh kebijakan kontroversial terkait dunia olahraga rekreasi. Kali ini, olahraga padel—yang tengah naik daun di kalangan anak muda kota besar—ditetapkan sebagai objek pajak hiburan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lewat Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, lapangan padel dikenakan tarif pajak hiburan sebesar 10 persen.
Kebijakan ini sontak menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama pelaku usaha dan masyarakat pengguna fasilitas padel.
Sebagian menilai keputusan ini terlalu cepat dan tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan olahraga baru yang sedang populer.
Padel sendiri dikenal sebagai olahraga permainan yang menggabungkan unsur tenis dan squash, dan kini mulai menjamur di berbagai pusat kebugaran ibu kota. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang tertarik mencoba olahraga ini, tentu regulasi yang menyentuh aspek komersialnya menjadi hal yang sensitif.
Di tengah keramaian informasi yang beredar, publik pun bertanya-tanya: benarkah kebijakan ini sudah final, dan apakah sudah disetujui oleh Gubernur Jakarta?
1. Respons Gubernur: Belum Tahu dan Belum Tanda Tangan
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, secara terbuka menyatakan bahwa dirinya belum mengetahui tentang keputusan yang menetapkan fasilitas padel sebagai objek pajak hiburan. Menurutnya, kabar tersebut justru ia dengar pertama kali dari unggahan warganet yang membanjiri media sosialnya.
Pramono juga menegaskan bahwa meskipun keputusan Bapenda telah terbit, wewenang akhir tetap berada di tangan gubernur. Ia menegaskan bahwa belum ada persetujuan darinya dalam bentuk tanda tangan maupun persetujuan resmi terkait kebijakan tersebut.
Pernyataan Pramono ini cukup mengejutkan mengingat kebijakan sudah sempat dikonfirmasi oleh pihak Bapenda. Situasi ini menimbulkan kesan adanya komunikasi yang belum sepenuhnya sinkron antara otoritas pengambil kebijakan teknis dan pimpinan tertinggi daerah.
Respons cepat dari Gubernur ini pun menenangkan sebagian pihak, yang berharap masih ada peluang untuk mengkaji ulang atau meninjau penerapan pajak terhadap padel, mengingat sifatnya sebagai olahraga baru yang sedang bertumbuh.
2. Dasar Hukum dan Alasan Pajak Padel Diberlakukan
Bapenda DKI Jakarta menjelaskan bahwa penetapan pajak hiburan terhadap padel dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024. Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa fasilitas olahraga permainan yang menggunakan ruang atau alat dapat dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) kategori hiburan.
Dengan demikian, padel masuk dalam kelompok yang sama seperti futsal, bulutangkis, tenis, hingga yoga dan pilates. Pajak ini berlaku terhadap segala bentuk transaksi yang melibatkan penyewaan, penggunaan fasilitas, atau pembayaran lainnya yang bersifat komersial.
Menurut Bapenda, regulasi ini tidak muncul karena padel sedang viral semata. Penyesuaian dilakukan untuk mengakomodasi perkembangan jenis-jenis hiburan yang ada di masyarakat dan agar pendapatan daerah tetap adaptif terhadap tren gaya hidup urban.
Namun tetap saja, penetapan ini menimbulkan pro dan kontra, mengingat padel masih dianggap sebagai olahraga baru yang belum memiliki regulasi pendukung secara menyeluruh dari sektor lain seperti pariwisata atau kepemudaan.
3. Pro Kontra Publik: Pajak Inovatif atau Menghambat?
Dari sisi fiskal, kebijakan ini mungkin dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD). Namun, di sisi lain, masyarakat—terutama pelaku industri olahraga—khawatir bahwa tarif pajak 10 persen dapat membebani konsumen dan menghambat pertumbuhan olahraga padel yang sedang naik daun.
Kritik juga datang dari komunitas olahraga yang merasa bahwa padel sebagai aktivitas fisik seharusnya tidak langsung dimasukkan ke dalam kategori hiburan tanpa diferensiasi. Pasalnya, banyak yang menggunakan padel bukan sebagai hiburan komersial, tetapi sebagai bagian dari gaya hidup sehat.
Situasi ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas instansi sebelum mengambil kebijakan yang menyangkut aktivitas masyarakat secara luas. Selain koordinasi dengan gubernur, pelibatan Kementerian Pemuda dan Olahraga serta pelaku industri juga dibutuhkan agar kebijakan yang diambil lebih inklusif dan berimbang.
Selain itu, pengenaan pajak terhadap padel berpotensi menjadi preseden bagi pengenaan pajak terhadap olahraga-olahraga baru lainnya. Jika tidak hati-hati, hal ini justru bisa menimbulkan ketakutan berinvestasi di sektor olahraga dan rekreasi yang sedang berkembang.
4. Menanti Keputusan Akhir Gubernur
Hingga saat ini, publik masih menunggu keputusan akhir dari Gubernur Pramono Anung terkait regulasi pajak terhadap padel. Pernyataan bahwa ia belum menandatangani apapun menjadi sinyal bahwa masih ada ruang untuk mengevaluasi atau bahkan meninjau ulang kebijakan ini secara menyeluruh.
Di sisi lain, Bapenda tampaknya tetap memegang landasan hukum yang sah dalam menetapkan keputusan tersebut. Hal ini membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana semestinya kebijakan fiskal di sektor gaya hidup urban dibentuk, apakah harus mengikuti dinamika pasar atau tetap konservatif.
Apa pun keputusannya, publik berharap kebijakan ini dapat mengakomodasi kebutuhan pemerintah akan penerimaan pajak, tanpa menekan perkembangan gaya hidup sehat dan olahraga rekreasi yang sedang tumbuh di tengah masyarakat.
Ke depan, akan sangat penting bagi pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan yang tidak hanya legal secara administratif, tetapi juga logis secara sosial dan berorientasi pada pembangunan jangka panjang.