"Gadis Kretek" Membawa Sejarah Hidup Stasiun Tuntang ke Layar Kaca

KuatBaca.com - Gadis Kretek, karya Kamila Andini dan Ifa Isfansyah, tidak hanya sekadar serial. Kehadirannya mengukir prestasi dengan menempati posisi ke-10 dalam daftar acara TV non-Inggris terpopuler di seluruh dunia.
Dalam seminggu, serial ini mampu meraih 1,6 juta penayangan global, menandai pencapaian luar biasa untuk karya bersumber dari novel karya Ratih Kumala yang pertama kali terbit pada 2012. Peringkat tertinggi di Indonesia selama dua minggu berturut-turut menambah kegemilangan Gadis Kretek di kancah internasional.
1. Pertemuan Terakhir di Stasiun Tuntang: Kisah Cinta dalam Layar Kaca
Salah satu momen paling mengharukan dalam Gadis Kretek adalah pertemuan terakhir antara tokoh Dasiyah atau Jeng Yah dengan Soeraja di sebuah stasiun. Stasiun tersebut bukan sembarang tempat; itu adalah Stasiun Tuntang, yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dalam balutan sejarahnya, Stasiun Tuntang menjadi saksi bisu kisah cinta yang menguras emosi para penonton.
2. Melacak Jejak Sejarah Stasiun Tuntang
1873: Awal Perjalanan Stasiun Tuntang
Stasiun Tuntang tidak hanya menjadi latar belakang romansa dalam Gadis Kretek; tempat ini juga memiliki warisan sejarah yang kaya. Dibangun sejak tahun 1871, stasiun ini mulai beroperasi pada Mei 1873. Meskipun tergolong kecil, Stasiun Tuntang menjadi titik penting dalam pengangkutan hasil perkebunan, seperti karet, gula, dan cokelat. Seiring berjalannya waktu, stasiun ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perkebunan di wilayah Semarang.
1905: Pembangunan Baru oleh NIS Maatschappij
Pada tahun 1905, wajah Stasiun Tuntang mengalami perubahan signifikan. Nederlandsch-Indische Spoorweg (NIS) Maatschappij memulai pembangunan stasiun-stasiun baru, termasuk Stasiun Tuntang. Bangunan yang kita lihat sekarang berasal dari era ini. Arsitektur "Chalet NIS" yang diperkenalkan pada awal abad ke-20 menciptakan tampilan yang unik dan bersejarah bagi stasiun ini.
3. Stasiun Tuntang: Lebih dari Sekadar Jalur Kereta
Peran Penting dalam Pengangkutan Hasil Perkebunan
Stasiun Tuntang bukan hanya tempat transit kereta. Sejak awal berdirinya, stasiun ini telah menjadi jalur penting bagi pengangkutan produk perkebunan. Hasil perkebunan seperti karet, gula, dan cokelat dikirimkan melalui jalur ini menuju Stasiun Ambarawa. Peran krusialnya dalam sektor perkebunan memberikan warna tersendiri pada sejarah Stasiun Tuntang.
1921: Bus Sebagai Penghubung ke Kota Salatiga
Seiring berkembangnya waktu, Stasiun Tuntang tidak hanya menjadi tempat singgah kereta. Pemerintah Belanda pada tahun 1921 mengoperasikan bus untuk menghubungkan Stasiun Tuntang dengan Kota Salatiga. Keberadaan bus ini memberikan kemudahan bagi warga yang hendak menuju Salatiga, yang saat itu tidak dilalui oleh jalur kereta api.
4. Transformasi Menjadi Museum dan Destinasi Wisata
1970: Transformasi menjadi Museum
Seiring perubahan dinamika transportasi, jalur kereta yang menghubungkan Yogyakarta dan Kedungjati ditutup pada tahun 1970. Stasiun Tuntang pun mengalami transformasi menjadi museum. Namun, peran dan kenangan Stasiun Tuntang tidak berakhir di sini.
2002: Kehidupan Baru Sebagai Destinasi Wisata
Pada tahun 2002, Stasiun Tuntang dihidupkan kembali untuk tujuan wisata. Terletak dalam kawasan Museum Ambarawa, stasiun ini menjadi salah satu destinasi yang menarik bagi para pengunjung. Meskipun hanya dilalui oleh kereta wisata, Stasiun Tuntang berhasil mempertahankan daya tariknya sebagai bagian berharga dari warisan sejarah Indonesia. (*)