7 Fakta Wiji Thukul, Penyair yang Hilang di Orde Baru

Kuatbaca.com - Hari ini pada 26 Agustus 2023, jika Wiji Thukul masih hidup akan berusia 60 tahun. Jika penyair asal Solo itu diketahui makamnya, (mungkin) Sipon tidak akan menderita kehilangan suaminya yang tak diketahui kabarnya sejak 1998.
Sejak tahun itu, saat demonstrasi Reformasi pecah besar-besaran di segala penjuru kota, Wiji Thukul menghilang. Selama 25 tahun, Wiji Thukul dihilangkan secara paksa oleh kekuasaan yang anti-demokrasi.
Hari ini, Koalisi Melawan Lupa menggelar acara di Galeri Nasional Indonesia mulai pukul 15.00 WIB. Acara ini dibuka dengan baca puisi, musik, dan pemutaran film Wiji Thukul 'Istirahatlah Kata-kata' dalam tajuk 'Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul, Kau Di Mana?'.
Berikut 7 fakta soal penyair Wiji Thukul seperti dirangkum redaksi:
1. Arti Nama
Lahir pada 26 Agustus 1963, nama aslinya adalah Widji Widodo. Nama Thukul diberikan oleh anggota Bengkel Teater, Cempe Lawu Warta, yang didirikan oleh WS Rendra.
Wiji dan Thukul merupakan bahasa Jawa, yang masing-masing berarti biji dan tumbuh, sehingga Wiji Thukul bermakna biji yang tumbuh.
2. Menentang Rezim Orde Baru
Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis yang keras menentang rezim Orde Baru, hingga kini ini masih berstatus hilang bersama 12 orang lain dalam daftar orang hilang. Kasus penculikan aktivis ini terjadi menjelang akhir pemerintahan Orde Baru tahun 1997-1998.
Dia adalah salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru namun pada tanggal 27 Juli 1998, Tukul menghilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang, muncul dugaan bahwa Thukul diculik oleh militer bersama beberapa aktivis lainnya.
3. Pegiat Teater
Thukul yang berasal dari latar belakang keluarga sederhana, sejak SD sudah tertarik dengan puisi dan dunia teater. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota.
Selama masa hidupnya ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Jagalan, tempat ia dan anak istrinya tinggal.
4. Bersuara Lewat Sajak
Wiji Thukul aktif bersuara melalui sajak-sajak yang dituliskannya. Ada 3 sajak yang populer yakni Peringatan, Sajak Suara, serta Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
5. Karya dan Penghargaan
Dia tidak hanya menulis sajak namun juga cerpen, esai, dan resensi puisi. Sajak-sajaknya diterbitkan di media cetak dalam negeri, maupun luar negeri.
Pada 1989, Wiji Thukul diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Ia juga tampil di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis di Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta, pada 1991.
Di tahun yang sama, Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda. Bersama WS Rendra, Wiji Thukul menjadi penerima hadiah pertama sejak yayasan tersebut didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda, WF Wertheim.
6. Jargon 'Hanya Ada Satu Kata: Lawan!'
Jargon 'Hanya Ada Satu Kata: Lawan!' identik dengan nama Wiji Thukul sekaligus menjadi simbol perjuangan yang selama ini dilontarkan pria asal Solo tersebut.
Kata lawan terpengaruh dari puisi berjudul Sumpah Bambu Runcing karya Pardi, temannya di teater Jagat, seakan menjadi roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang ingin melawan rezim otoriter dan militerisme Orde Baru.
7. Misteri Keberadaan Wiji Thukul
Komisi untuk Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) pada 2000 mengumumkan nama Wiji Thukul sebagai salah satu dari 13 orang yang hilang menjelang rezim Orde Baru. Sejak dinyatakan hilang, tidak ada yang tahu kabar maupun makamnya. Tak ada yang tahu juga, apakah ia masih hidup atau sudah tiada.
(*)