Fadli Zon Tegas Lanjutkan Penulisan Ulang Sejarah: "Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah"

1. Fraksi PKB Minta Penulisan Ulang Sejarah Ditunda, Fadli Zon Menolak
Kuatbaca.com - Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia kembali menuai sorotan di parlemen. Dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Rabu (2/7/2025), anggota DPR dari Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad, mengusulkan agar proyek tersebut ditunda. Alasannya, proses penulisan dinilai tertutup, terlalu cepat, dan minim sosialisasi kepada publik serta parlemen.
Habib menyampaikan bahwa sebagian besar fraksi memberikan catatan kritis terhadap proyek ini. Ia juga menyebut tidak adanya informasi jelas mengenai siapa saja yang tergabung dalam tim penulis sejarah, padahal proyek ini akan berdampak besar terhadap pembentukan narasi sejarah bangsa.
2. Fadli Zon: Uji Publik Jalan Terus, Sejarah Tak Boleh Dihambat
Merespons usulan penundaan itu, Fadli Zon menolak tegas permintaan penundaan dan menekankan bahwa proyek penulisan sejarah tetap akan berlanjut. Fadli menyebut bahwa hasil penulisan akan diuji publik dan semua pihak bisa memberikan masukan nantinya. Oleh sebab itu, ia meminta masyarakat tidak terburu-buru menghakimi isi dari penulisan sejarah yang saat ini masih dalam proses.
“Ini kan apa yang disebut Bung Karno: Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Kok sekarang malah menuntut tidak boleh menulis sejarah?” kata Fadli. Menurutnya, justru melalui proyek ini, generasi sekarang bisa melihat kembali sejarah Indonesia secara lebih utuh dan kontekstual.
3. Kritik Soal Transparansi dan Durasi Waktu Proyek
Salah satu kritik utama dari Komisi X DPR adalah kurangnya transparansi dalam proses pengerjaan proyek tersebut. Habib Syarief menyatakan bahwa sejak awal Fadli Zon menjanjikan adanya sosialisasi awal, namun hingga kini DPR tidak menerima informasi lanjutan. Durasi penulisan yang hanya sekitar tujuh bulan pun dinilai terlalu singkat untuk sebuah proyek penulisan sejarah yang menyangkut masa lalu bangsa secara menyeluruh.
Ia mengkhawatirkan bahwa penulisan sejarah secara tergesa-gesa tanpa keterlibatan publik dan akademisi lintas spektrum justru akan menimbulkan narasi tunggal dan berpotensi menyingkirkan fakta sejarah yang tidak populer secara politik.
4. Fadli Tegaskan Tidak Ada Upaya Pemutihan Sejarah 1998
Dalam kesempatan tersebut, Fadli juga menanggapi tuduhan bahwa dirinya mencoba menghapus atau memutihkan peristiwa kekerasan pada masa lalu, khususnya tragedi pemerkosaan massal tahun 1998. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menyangkal adanya kekerasan tersebut, dan bahkan mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
“Kan saya tidak pernah menegasikan itu. Saya baca semua data, termasuk laporan TGPF. Kita harus mengutuk semua kekerasan terhadap perempuan,” tegas Fadli, menjawab kekhawatiran yang sempat membuat anggota DPR lain menangis karena menilai pernyataan sebelumnya cenderung meremehkan penderitaan korban.
5. Masyarakat Sipil Desak Proyek Dihentikan, Tuduhan ‘Pemutihan’ Muncul
Sebelum rapat tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil sempat menggeruduk kompleks DPR sebagai bentuk protes atas proyek penulisan ulang sejarah yang mereka anggap berbahaya karena bisa menjadi sarana pemutihan sejarah. Mereka khawatir penulisan sejarah oleh negara tanpa pelibatan kritis dari korban dan kelompok independen akan menghapus luka kolektif bangsa.
Mereka juga meminta agar sejarah tidak dijadikan alat politik, dan mendesak agar penulisan ulang hanya dilakukan melalui pendekatan ilmiah dan berbasis data dengan melibatkan akademisi independen, korban, dan pelaku sejarah secara seimbang.
6. Penulisan Ulang Sejarah: Momentum atau Ancaman?
Di satu sisi, proyek penulisan ulang sejarah bisa menjadi momentum rekonstruksi narasi kebangsaan yang lebih inklusif dan menyeluruh. Namun di sisi lain, jika dilakukan secara tertutup, cepat, dan tanpa partisipasi luas, proyek ini justru dapat menjadi alat pengaburan sejarah yang melukai ingatan kolektif bangsa.
Masyarakat kini menunggu langkah konkret dari Kementerian Kebudayaan untuk memastikan proyek ini berjalan transparan, akuntabel, dan berpihak pada kebenaran sejarah—bukan hanya kenyamanan politik penguasa hari ini.