Fadli Zon Pertanyakan Bukti TSM dalam Tragedi Pemerkosaan Mei 1998

24 June 2025 16:58 WIB
fadli-zon-1749184646690_169.jpeg

Kuatbaca.com - Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali menjadi sorotan publik usai mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait tragedi pemerkosaan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998. Dalam kunjungannya ke Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jawa Barat, pada Selasa (24/6/2025), Fadli mempertanyakan penggunaan istilah "massal" dalam merujuk pada peristiwa kelam tersebut.

Menurut Fadli, ia tidak membantah bahwa kekerasan seksual terjadi pada masa itu. Namun, ia menilai bahwa untuk menyebutnya sebagai pemerkosaan massal, harus ada bukti yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), sebagaimana definisi umum yang digunakan dalam konteks kejahatan perang atau genosida.

"Perkosaan, saya yakin itu terjadi, tapi kalau dikatakan massal seperti kasus di Nanjing atau Bosnia, perlu ada bukti bahwa itu TSM," ujar Fadli. Ia pun mempertanyakan apakah terdapat data atau hasil investigasi hukum yang benar-benar menyatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi saat itu dilakukan secara sistematis oleh suatu institusi.

1. Kritik Terhadap Istilah ‘Pemerkosaan Massal’

Fadli Zon menyebut bahwa istilah "pemerkosaan massal" yang beredar sejak 1998 sangat mungkin dipengaruhi oleh narasi asing. Ia menilai bahwa pada saat itu ada kecenderungan dari pihak luar negeri yang ingin membentuk framing tertentu mengenai kondisi sosial dan politik Indonesia yang tengah bergolak.

"Waktu itu ada frame, termasuk dari asing, soal pemerkosaan massal. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai framing itu diterima tanpa verifikasi," katanya. Fadli menekankan bahwa dalam upaya penulisan sejarah yang tengah dilakukan pemerintah, fakta-fakta yang sahih dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik maupun hukum menjadi penting.

Dia juga menekankan bahwa dalam konteks penulisan ulang sejarah nasional, pendekatan objektif harus diutamakan. “Harus ada fakta akademik, fakta hukum. Siapa korban, di mana lokasinya, kapan kejadiannya. Itu yang harus jelas,” tambahnya.

2. Reaksi Publik dan Respons DPR

Pernyataan Fadli ini menuai berbagai reaksi dari publik, terutama dari kalangan aktivis perempuan dan pembela HAM yang telah lama memperjuangkan pengakuan atas korban kekerasan seksual pada tragedi Mei 1998. Sejumlah aktivis bahkan mendesak agar Fadli Zon dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Kebudayaan.

Komisi X DPR RI merespons polemik ini dengan menyatakan akan memanggil Fadli Zon dalam rapat kerja. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut langkah ini penting untuk memberikan penjelasan dan klarifikasi atas pernyataan yang telah menimbulkan kegaduhan.

“Komisi terkait saya dengar akan meminta menteri yang bersangkutan untuk memberikan keterangan di DPR. Saya pikir itu bagus, untuk meng-clear-kan hal-hal yang kemudian menjadi polemik di masyarakat,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Dasco juga meminta publik untuk tidak berspekulasi terlebih dahulu soal penulisan ulang sejarah yang kini sedang berlangsung di bawah koordinasi Kementerian Kebudayaan. Menurutnya, proses pengkajian akan dilakukan terlebih dahulu sebelum publik menarik kesimpulan.

3. Sejarah, Trauma, dan Pentingnya Kejelasan Narasi

Tragedi kerusuhan Mei 1998 bukan hanya soal kekerasan politik dan rasial, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam karena laporan kekerasan seksual yang dialami sejumlah perempuan, sebagian besar dari etnis Tionghoa. Hingga kini, masih banyak pihak yang menuntut pengakuan resmi dan perlindungan bagi para korban.

Sejumlah laporan dari lembaga swadaya masyarakat dan Komnas Perempuan menyebut adanya indikasi kuat bahwa kekerasan seksual pada masa itu memang terjadi secara luas. Namun, sulitnya pengumpulan data dan minimnya pengakuan dari korban membuat kasus ini rumit dibuktikan secara yuridis.

Dalam konteks penulisan sejarah, terutama jika melibatkan isu sensitif seperti ini, keseimbangan antara bukti akademik dan keberpihakan pada korban menjadi tantangan utama. Pemerintah dituntut untuk tidak mengabaikan pengalaman dan penderitaan korban hanya karena tidak ada bukti formal.

Fadli Zon sendiri sebelumnya menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah nasional bukan bertujuan menciptakan sejarah resmi versi pemerintah, melainkan menghadirkan catatan yang lebih lengkap dan diperbarui berdasarkan hasil kajian para sejarawan.

4. Masyarakat Tunggu Transparansi dan Keadilan Sejarah

Kontroversi pernyataan Fadli Zon menambah panjang daftar polemik dalam proses penulisan ulang sejarah nasional. Banyak pihak menilai bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam mengelola isu sejarah yang masih menyisakan luka sosial, terutama yang terkait kekerasan terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Langkah DPR untuk meminta klarifikasi dari Menteri Kebudayaan disambut positif sebagai bagian dari proses check and balance. Hal ini juga diharapkan dapat membuka ruang dialog yang lebih luas tentang bagaimana sejarah bangsa seharusnya ditulis, terutama untuk generasi mendatang.

Apakah benar tidak ada pemerkosaan massal, ataukah memang tidak semua korban bersuara karena trauma dan ketakutan? Publik menanti proses klarifikasi yang lebih transparan, adil, dan tidak menyudutkan korban.

Karena sejarah, pada akhirnya, bukan sekadar soal data dan tanggal, tetapi juga tentang keberanian menghadapi kebenaran, seberat dan segetir apa pun itu.

Fenomena Terkini






Trending